A.TENTANG DAN FILOSOFI
Raden Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo diyakini menjadi penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo. Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya. Pada saat pemerintahan Kerajaan Demak, Batoro Katong diperintahkan untuk menyelidiki daerah Wengker. Singkat cerita Batoro Katong menjadi Bupati pertama Ponorogo. Pada saat itu di Wengker terdapat kesenian barongan, kemudian oleh Batoro Katong nama Barongan diganti dengan nama Reyog. Reyog tersebut digunakan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah Wengker. Berikut ini salah satu contoh media da’wah Raden Batoro Katong.
1. DADAK REYOG
Dadak reyog diambil dari bahasa arab “Riyoqun” yang bermakna Khusnul Khotimah. Hal ini bisa diartikan seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa dan noda, bilamana sadar dan beriman yang pada akhirnya bertaqwa kepada Tuhan maka jaminannya adalah sebagai manusia yang sempurna dan menjadi muslim sejati. Dalam Reyog terdapat topeng Harimau (Barongan / Cekathakan ) yang angker dan angkuh dihiasi oleh bulu burung merak yang hijau kebiru – biruan dan mengkilat. Topeng harimau melambangkan kejahatan dan bulu merak melambangkan kebajikan. Ini mengingatkan kepada kita bahwa setiap kejahatan akan terkalahkan oleh kebajikan.
Selain warna bulu merak yang indah, kalau kita amati ada 4 (empat) warna yang dominan dalam kesenian reog yaitu hitam, putih, kuning dan merah. Warna – warna ini bukanlah tanpa makna namun para pinesepuh telah menempatkan warna yang mempunyai makna atau yang menyimbolkan nafsu – nafsu yang ada dalam diri manusia. Secara garis besar warna – warna itu menyimbolkan :
1. Warna Merah menyimbolkan nafsu AMARAH
2. Warna Putih menyimbolkan nafsu MUTH’MAINAH
3. Warna Hitam menyimbolkan nafsu ALWAMAH
4. Warna Kuning menyimbolkan nafsu SUFIYAH
Simbol nafsu manusia ini dapat dipahami secara mendalam oleh beberapa atau pemain dan penonton kesenian reog. Wacana ini dapat diterangkan oleh sesepuh atau penangkapan secara alami oleh penonton dan penari. Simbolisasi ini juga relevan dengan proses kejiwaan dalam ilmu kanuragan Jawa yaitu dimulai dari proses KANURAGAN, KASEPUHAN, KASUKSMAN dan KASAMPURNAN. Simbolisasi atas warna – warna dominan dalam kesenian Reog inilah yang dapat dipetik dari tujuan Tontonan yang bisa membawa ke arah Tuntunan.
2. KENDANG
Kendang diambil dari Bahasa Arab “Qoda’a” yang bermakna rem. Artinya sebagai manusi yang hidup dimuka bumi kita harus sadar bahwa kita tak akan hidup selamanya. Maka dari itu dibutuhkan rem untuk mengendalikan kehidupan kita agar tak terjerumus dalam keangkara murkaan.
Kendang menentukan irama cepat atau lambat dan berbunyi dang, dang, dang. Ndang artinya segeralah, berarti segeralah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
3. KENONG
Kenong diambil dari Bahasa Arab “Qona’a” yang bermakna menerima takdir. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan kita dilarang untuk mengeluh dengan apa yang terjadi pada diri kita. Kita diwajibkan untuk selalu berusaha dan berdoa untuk merubah hidup kita.
Kenong memiliki suara nang, ning, nong, nung. Nang berarti ana, ning berate bening, nong berarti plong (mengerti), nung berarti dumunung (sadar). Maksutnya setelah manusia ada lalu berfikir dengan hati hyang bening maka dapat mengerti sehingga sadar bahwa keberadaannya tentu ada yang menciptakannya yaitu Allah SWT.
4. KETIPUNG
Ketipung diambil dari Bahasa Arab”Katifun” yang berarti balasan. Setiap perbuatan yang kita lakukan dimuka bumi ini akan mendapatkan balasan dari tuhan kelak di hari akhir. Untuk itu kita dianjurkan untuk selalu berbuat kebajikan setiap waktu.
5. KETHUK
Diambil dari Bahasa Arab “Khotok” yang berarti banyak salah. Manusia adalah tempatnya berbuat salah dan dosa, maka dari itu kita selalu diingatkan untuk selalu bertaubat.
Kethuk berbunyi thuk, artinya matuk atau setuju.
6. GONG KEMPUL
Gong berarti Gung, setiap amal manusia dipertanggungjawabkan dihadapan Yang Maha Agung.
Kempul berasal dari Bahasa Arab “ Kafulun” artinya pembalasan atau imbalan. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan dicatat oleh malaikat yang selalu menyertai kita.
Kempul artinya kumpul atau jama’ah. Setelah ditabuh sekali dua kali, tiga kali disusul bunyi gong yang artinya agung. Lagu yang dibunyikan selalu berakhir dengan bunyi gong. Semua ibadah kita tujukan kepada yang Maha Agung.
7. TEROMPET ATAU SULING
Diambil dari Bahasa Arab “Shuwarun” artnya peringatan. Hidup manusia didunia hanya sementara, kita selalu diingatkan untuk mengisi hidup kita dengan kebaikan.
Suling artinya eling atau ingat. Ingat kepada yang menjadikan hidup. ingat
bahwa hidup di dunia tidak lama. Ingat bahwa ada kehidupan yang kekal dan bahagia yang dapat dicapai dengan amal ibadah sebanyak-banyaknya.
8. ANGKLUNG
Berasal dari Bahasa Arab “Anqul” artinya peralihan. Artinya peralihan dari hal buruk menjadi baik.
9. WAROK
Berasal dari bahasa Arab “Wira’I” artinya tirakat. Kehidupan dunia ini penuh godaan dari segala penjuru, untuk itu perlu tirakat untuk menjauhkan godaan-godaan tersebut.
10. PENADHON
Dari Bahasa Arab “Fanadun” artinya lemah. Setiap manusia memiliki kelemahan atau kekurangan-kekurangan, namun kita dilarang berputus asa karena kelemahan kita.
11. USUS-USUS Atau KOLOR
Diambil dari Bahasa arab “ Ushusun” artinya tali atau ikatan. Manusia wajib berpegang teguh pada tali Allah dalam hubungan vertical kepada Tuhan YME dan hubungan dengan sesama manusia. Selain itu Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu menjaga ikatan silaturahmi.
B.SEJARAH
Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa sejarah tarian reog ponorogo memiliki banyak versi cerita. Silahkan baca disini Seputar Reog Ponorogo. Adapun beberapa versi cerita sejarah tarian reog adalah sebagai berikut :
1. KERAJAAN BANTARANGIN
Diceritakan bahwa Raja Bantar Angin yang bergelar Prabu Kelana Sewandana jatuh cinta kepada putri dari kerajaan Kediri yang bernama Dyah Ayu Dewi Songgolangit. Oleh sebab api cinta yang tidak bisa dipadamkan, maka Prabu Kelana Sewandana kemudian mengutus Patihnya yaitu Pujonggo Anom atau yang lebih dikenal dengan Bujang Ganong untuk melamar Dyah Ayu Dewi Songgolangit. Dalam perjalanan menuju ke kerajaan Kediri, Bujang Ganong dihadang oleh Singo Barong (seorang raja dari segala harimau yang menjaga tapal batas kerajaan Kediri). Singo Barong mempunyai bentuk tubuh yang tidak lazim yaitu orang yang berbadan manusia tetapi berkepala Harimau. Prabu Singo Barong mendapat perintah dari Raja Kediri untuk memeriksa atau melarang siapapun tanpa seijin sang Raja masuk ke wilayah kerajaan Kediri.
Perjalanan Bujang Ganong terpaksa berhenti di perbatasan kerajaan Kediri karena dihadang oleh Singo Barong. Perang mulut antara keduanya sulit dihindari sehingga memuncak menjadi perang fisik. Karena kesaktian dan keperkasaan Singo Barong, Patih Bujang Ganong dapat dikalahkan dan bertekuk lutut dikaki Singo Barong. Kemudian Singo Barong menyuruh Bujang Ganong pulang ke kerajaan Bantar Angin dan melaporkan kekalahannya.
Sesampainya di kerajaan Bantar Angin, Bujang Ganong langsung menghadap Prabu Kelana Sewandana. Mendengar kekalahan dan ketidak berhasilan utusannya, beliau langsung marah dan memerintahkan Bujang Ganong untuk mengerahkan segala kekuatan bala tentaranya untuk menyerang Singo Barong dan kerajaan Kediri. Prabu Kelana Sewandana akan menghancurkan Kediri apabila Dyah Ayu Dewi Songgolangit menolak lamarannya. Dalam perjalananya, Prabu Kelana Sewandana diiringi suara bended an Gong yang riuh sekali dengan maksud untuk memberi semangat kepada prajuritnya. Seperti perjalanan sebelumnya, setelah sampai di tapal batas kerajaan Kediri, pasukan Bantar Angin dihadang oleh Singo Barong dan bala tentaranya. Akhirnya perangpun terjadi dengan dahsyatnya. Ternyata kekuatan dan kesaktian bala tentara Singo Barong sangat sulit dikalahkan oleh prajurit Bantar Angin, sehingga Prabu Kelana Sewandana harus turun tangan sendiri.
Adu kesaktian antara Prabu Kelana Sewandana dan Singo Barong berlangsung seru dan mengagumkan. Keduanya sangat sakti mandraguna dan saling serang. Prabu Kelana Sewandana sangat terpaksa mengeluarkan pusaka andalannya yaitu Cemethi Samandiman. Dengan sekali cambuk Singo barong langsung lumpuh kehilangan kekuatannya. Singo Barong menyatakan dan mengakui kekalahannya dan takhluk kepada Prabu Kelana Sewandana. Prabu Kelana Sewandana tidak keberatan menerima takhlukan Singo Barong asalkan mau menunjukkan jalan menuju ke Kerajaan Kediri dan membantu mewujudkan cita – cita Prabu Kelana Sewandana. Dua pasukan itu bergabung di bawah pimpinan Singo barong dan Bujang Ganong menuju kerajaan Kediri. Tanpa perlawanan yang berarti, pasukan kerajaan Kediri dapat dikalahkan oleh Pasukan Prabu Kelana Sewandana. Akhirnya Prabu Kelana Sewandana berhasil mempersunting Putri Kediri Dyah Ayu Dewi Songgolangit.
Untuk memperingati perjalanan dan kemenangan Prabu Kelana Sewandana ini diciptakanlah suatu kesenian yang dikenal dengan REOG.
2. VERSI KI AGENG KUTU
Legenda kesenian reog ini merupakan sindiran atau satire sekaligus mempunyai makna simbolis yang timbul pada masa Raja Bre Kertabumi yaitu raja terakhir kerajaan Majapahit. Hal ini berawal dari menyingkirnya penasehat kerajaan yang bernama Ki Ageng Ketut Suryo Alam dari Istana Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menganggap Prabu Bre Kertabumi telah menyimpang dari tatanan moral kerajaan. Penyimpangan moral inilah yang dinilai awal dari kehancuran Majapahit, dimana kebijakan politik Majapahit waktu itu banyak dipengaruhi oleh permaisuri sehingga banyak kebijakan, peraturan Raja yang tidak benar. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menyingkir ke suatu daerah di selatan, yang bernama Kutu. Suatu desa kecil yang masuk wilayah Wengker.
Kemudian Ki Ageng Ketut Suryo Alam mendirikan sebuah padepokan yang mengajarkan sikap seorang prajurit dan kesatria yang gagah dan perkasa. Seorang prajurit harus taat kepada kerajaan dan sakti. Untuk menempuh tujuan tersebut Ki Ageng Ketut Suryo Alam atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Ki Demang Kutu melarang muridnya berhubungan dengan wanita (wadat). Menurut kepercayaanya, barang siapa melanggar ajaran tersebut, kekuatan atau kesaktinnya akan berkurang, bahkan hilang sama sekali. Untuk itulah muridnya harus tinggal di padepokannya. Kepemimpinan dan padepokan Ki Ageng Kutu cepat menyebar dan popular ke beberapa daerah lainnya.
Di dalam padepokan tersebut, Ki Ageng Kutu merenung dan berfikir, bagaimana strategi untuk melawan Majapahit yang dianggapnya meyimpang. Dalam perenungannya muncul pendapat bahwa peperangan bukanlah cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah, sehingga diciptakanlah sebuah perlawanan secara psikologis dengan membuat kritikan lewat media kesenian. Sebuah drama tari yang menggambarkan keadaan kerajaan Majapahit, dan oleh Ki Ageng Kutu disebut REOG.
Ki Ageng Kutu sebagai tokoh warok yang dikelilingi oleh para murid – muridnya menggambarkan fungsi dan peranan sesepuh masih tetap diperlukan dan harus diperhatikan.
Pelaku dalam Drama tari tersebut adalah Singo Barong yang mengenakan bulu merak di atas kepalanya menunjukkan kecongkakan atau kesombongan sang Raja, yang selalu diganggu kecantikan permaisurinya dalam menentukan kebijakan kerajaan.
Penari kuda atau Jathilan yang diperankan oleh seorang laki – laki yang lemah gemulai dan berdandan seperti wanita menggambarkan hilangnya sifat keprajuritan kerajaan Majapahit. Tarian penunggang kuda yang aneh menggambarkan ketidakjelasan peranan prajurit kerajaan, ketidak disiplinan prajurit terhadap rajanya, namun raja berusaha mengembalikan kewibawaannya kepada rakyat yang digambarkan dengan penari kuda (Jathilan) berputar – putarnya mengelilingi Sang Raja.
Seorang pujangga kerajaan digambarkan oleh Bujang Ganong yang memili wajah berwarna merah, mata melotot dan berhidung panjang menggambarkan orang bijaksana, bernalar panjang tetapi tidak digubris oleh Raja sehingga harus menyingkir dari kerajaan.
Setelah Ki Ageng Kutu meninggal, kesenian ini diteruskan oleh Ki Ageng Mirah pada masa Bathoro Katong (Bupati pertama Ponorogo) hingga sekarang. Oleh Ki Ageng Mirah cerita yang berlata belakang sindiran tersebut digantikan dengan cerita Panji. Kemudian dimasukkan tokoh – tokoh panji seperti Prabu Kelana Sewandana, Dewi Songgolangit yang menggambarkan peperangan antara kerajaan Kediri dan Bantar Angin.
3. VERSI BATORO KATONG
Versi lain yang disebutkan dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa, yang diterbitkan pada 1 Agustus 1993, pada era Bupati Gatot Sumani, menyebutkan reog Ponorogo yang semula disebut Barongan merupakan sindiran dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Prabu Brawijaya V sebagai pemimpin Majapahit saat itu, yang belum melaksanakan tugas kerajaan secara tertib, adil, dan mamadai karena dipengaruhi dan dikendalikan oleh permaisurinya.
Berawal dari cerita inilah asal usul reog Ponorogo dalam wujud seperangkat merak dan jathilan sebagai manifestasi sindiran kepada Raja Majapahit. Raja dikiaskan sebagai harimau yang ditunggangi oleh merak sebagai lambang permaisuri ( yang menguasai suami ).
Kesenian Reog terus berkembang menjadi media komunikasi dengan masyarakat. Pada masa pemerintahan Batoro Katong dan Ki Ageng Mirah sebagai pendamping setia Batoro Katong, kesenian reog terus dilestarikan. Dengan daya cipta dan rekayasa yang tepat, Ki Ageng Mirah membuat cerita legendaris yaitu cerita tentang raja Bantarangin, Prabu Kelono Sewandono yang sedang kasmaran. Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini berkembang di masyarakat Ponorogo dan diyakini hingga kini bahwa cerita itu benar-benar terjadi. Bahkan diyakini pula, bekas kerajaan Bantarangin masih tetap ada di wilayah Somoroto, Kauman.
Oleh Batoro Katong, kesenian reog ini juga digunakan sebagai media dakwah. Menurutnya kata ”Reyog” berasal dari kata ”Riyoqun” yang berarti Khusnul Khotimah. Demikian pula instrumen reog juga diberi nama yang bermakna untuk tujuan dakwah.
4. VERSI CERITA MAJAPAHIT
Akibat dari Kekacauan di Pusat Pemerintahan Majapahit dan ketidakpuasan Para Punggawa Kerajaan, salah satu Punggawa menyingkir dari Pusat Kerajaan. Hal ini dikarenakan Raja Brawijaya lebih memperhatikan istri China-nya(Putri Cempa) dan mengabaikan pendapat dari Penasehat atau Punggawa Kerajaan. Punggawa ini menyingkir ke wilayah pinggir dari Kerajaan Wengker (Ponorogo). Wengker adalah Kerajaan Bawahan Majapahit dan tidak Logis jika Punggawa ini menyingkir ke Pusat Pemerintahan Wengker (Ponorogo sekarang). Dari bentuk Candi Brongkah yang ditemukan di Brongkah sebelah barat kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek, menurut penulis Candi Brongkah adalah Batas Wilayah Kerajaan Wengker dan Kediri. Jika pendapat penulis ini benar, artinya Wilayah Pinggir dari Kerajaan Wengker meliputi 12 Kecamatan di Wilayah Kabupaten Trenggalek karena dari situs yang ditemukan di Ponorogo, Pusat Kerajan Wengker ada di Wilayah Kabupaten Ponorogo sekarang. Dan wilayah yang sejak dahulu menjadi tempat pelarian Para Punggawa Kerajaan, Raja, Perampok dan tempat Pertapaan adalah Wilayah Kecamatan Kampak Trenggalek. Kenapa Kampak, karena wilayah ini terlindung oleh gugusan bukit-bukit kecil yang mengelilinginya sehingga aman untuk tempat perlindungan. Punggawa ini tidak puas dengan Raja dan ingin memberontak. Namun apa daya, kekuatan prajurit Majapahit jauh melebihi kekuatan pengikut Punggawa ini. Akhirnya muncul ide menciptakan kesenian untuk mengkritisi Raja Brawijaya. Sesuai Karakter Orang Jawa, mengkritik tidak mau secara langsung pada sasaran karena jika salah perhitungan akan mati konyol maka digambarkan dengan lambang atau gambaran. Muncullah penggambaran Kepala Singa/Macan dan diatasnya Burung Merak adalah Raja Brawijaya yang ditunggangi atau dikendalikan istri China-nya Putri Cempa. Para laki-laki yang berhias seperti perempuan dengan kuda lumping adalah penggambaran Prajurit Majapahit yang telah Loyo dan jatuh mentalnya seperti Prajurit Perempuan menunggang kuda dan menari-nari mengikuti titah Raja yang tak lagi berwibawa. Bujang Ganong adalah penggambaran dari Pujangga sendiri yang selalu menggoda Raja atau Barongan Merak dan menari-nari dengan lincahnya. Dari sinilah kesenian Reog Ponorogo muncul dan menyebar ke seluruh Kerajaan Wengker menjadi kesenian rakyat dan terus berkembang sampai sekarang. Sedang budaya Warog sendiri menurut penulis adalah Pendeta-pendeta Suci atau orang-orang Sufi dalam Islam yang mengawal Si Punggawa. Para Pendeta atau Warog ini tidak menikah dan jika menginginkan perempuan, maka dia mencari laki-laki muda yang didandani wanita untuk dijadikan kesenangan/Gemblak agar terhindar dari perbuatan zina. Para Gemblak ini dipelihara layaknya istri dan dimanja sampai Si Warog sudah tak membutuhkan lagi.
Dari sini penulis berkesimpulan secara Subyektif mungkin, karena tidak ada data ilmiah yang bisa jadikan pedoman, bahwa Reog Ponorogo pertama kali muncul dan dikembangkan dari wilayah Kampak Kabupaten Trenggalek kemudian menyebar ke seluruh Ponorogo. Ini jadi logis karena dari data sejarah, pada Jaman Kerajaan Surakarta dan Ngayogyakarta sampai Jaman Belanda wilayah Kawedanan Kampak, Trenggalek dan Karangan masuk dalam wilayah Kadipaten/Kabupaten Ponorogo kemudian memisahkan diri dan menjadi Kabupaten tersendiri ditambah wilayah dari Pacitan dan Tulungagung.
SEMOGA BERMANFAAT.
JIKA ADA VERSI LAIN YANG BELUM DITAMBAHKAN PENULIS, MOHON POSTING DI KOMENTAR.
Artikel ini disadur dari sumber yang saya lupa alamatnya. Mohon maaf
2 komentar:
Bermanfaat gan.
Bikin artikel seputaran ponorogo lainya.
Sipp boss
Posting Komentar