Sabtu, 27 Mei 2017

Klampis Ireng


Klampis ireng adalah tempat yang terkenal angker dan sangat dikeramatkan orang-orang di Ponorogo. Berlokasi di Desa Gandu Kepuh, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo. Tempat ini berada di hutan di tengah sawah. Pada gerbang masuknya terdapat patung semar berwarna hitam dan didalamnya terdapat monumen berbentuk lingkaran serta tabung berlubang ditengahnya. Konon katanya, dulu disini terdapat pohon klampis Ireng yang sangat langka.
Menurut Wikipedia Klampis atau Acacia tomentosa adalah sejenis pohon polong-polongan yang biasa di temui di daerah tropis, dan kata "Ireng" berasal dari bahasa Jawa yang berarti Hitam. Jadi klampis ireng berarti Pohon klampis yang berwarna hitam. Jika umumnya pohon Klampis berwarna coklat, pohon ini justru berwarna hitam. Inilah yang mungkin menjadi alasan lain terkenalnya tempat ini, tempat punahnya pohon klampis ireng.
Dalam sejarahnya, klampis ireng dulunya adalah situs padepokan milik kyai Semar, salah satu tokoh pewayangan terkenal dalam grup punakawan atau kesatria Jawa yang beranggotakan Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Disitu beliau mengajarkan ilmu kejawen manunggaling kawula gusti yang berarti bersatu dengan Tuhan. Kyai Semar memang dikenal sebagai sosok yang arif, bijaksana, dan memiliki kesaktian tingkat dewa.



Karena dulunya tempat ini ditempati Kyai Semar yang sakti, maka banyak orang mengadakan ritual gaib ditempat ini. Biasanya mereka datang untuk mencari wangsit, pesugihan, meminta petunjuk, tolak bala dan lain-lain. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam ritual antara lain harus menyediakan 9 jenis bahan, seperti, kemenyan, rokok, hio, kembang telon, buah-buahan, dan lain-lain. Sedangkann pantangannya antara lain tidak boleh menggunakan pakaian warna hijau dan tidak boleh datang pada malam jum'at wage.
Ditempat ini ada juga seorang Juru Kunci yang memandu pengunjung yang berkunjung di tempat ini. Segala ritual yang akan diadakan pengunjung harus seizin juru kunci, kalau tidak ada ijin dan bertingkah laku seenaknya di tempat ini maka nasib buruk akan menimpanya. Tempat ini sendiri menurut mbah Giyanto adalah kerajaan gaib, jika kita bisa melihatnya maka akan terpampang nyata suatu pemandangan kerajaan berisi emas. Akan terlihat juga Kyai Semar serta anggota punakawan lain yang duduk di tahta kerajaan.
Tempat ini sudah bagaikan kerajaan, siapapun yang berbicara kotor bertingkah laku tidak sopan akan bernasib buruk. Termasuk jika kita mencuri kayu diarea ini tanpa seizin juru kunci maka pada malam hari kayu tersebut akan berubah menjadi potongan kaki manusia. Menurut cerita masyarakat dulu sempat ada salah satu stasiun televisi yang akan membuat acara uji nyali ditempat ini namun tak disangka kameranya meledak dan hancur sehingga acara terpaksa dialihkan ditempat lain. Benar-benar kejadian yang tidak masuk akal.


Kayu klampis ireng memang sulit ditemukan, namun ada seseorang yang bisa menemukan kayu itu secara gaib walau berukuran kecil. Kayu ini dipercaya memiliki manfaat positif, jika dipajang dirumah konon bisa mendatangkan ketentraman, kedamaian dan keamanan diseluruh isi rumah. Manfaat lainnya jika dipakai sebagai aksesoris, bisa mendatangkan rejeki, kearifan, kebijaksanaan yang tinggi, kesuksesan, jodoh. Atau bagi yang ingin punya kesaktian seperti ilmu kebal, anti guna-guna / santet bisa mencoba memakainya tapi dengan syarat-syarat tertentu.
Apapun itu, semua kembali ke diri kita masing-masing boleh percaya atau tidak. Yang jelas tetaplah meminta kepada sumber satu-satunya yaitu Tuhan YME karena tanpa kuasa dan kehendakNya semua tidak akan terjadi. Jangan sampai kita terjerumus ke dunia hitam yang membawa malapetaka pada diri kita di dunia dan akhirat.

Rabu, 17 Mei 2017

Napak Tilas Gunung Srandil Ponorogo


Astana Srandil, desa perdikan yang dihadiahkan Si pada masyarakat desa Srandil
Gunung Srandil memiliki banyak sejarah dan mitos tentang kota Ponorogo. Paseban Jati akan mengajak anda untuk “Napak Tilas Gunung Srandil”. Gunung srandil memiliki hubungan erat atau sejarah tentang lahirnya kota Ponorogo, Gunung Srandil sendiri adalah sebuah kompleks pemakaman (dalam bahasa Jawa di sebut pesarean untuk menyebutkan bahwa yang dimakamkan di dalamnya dari kalangan terhormat). Letak Gunung Srandil ini sekitar 15 km ke arah barat pusat kota Ponorogo tepatnya di Desa Srandil Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo.
Dari sudut pandang sejarah, Pesarean Gunung Srandil adalah kompleks pemakaman bupati kabupaten Sumoroto. Di jaman dahulu, struktur pemerintahan tidak seperti saat ini. Di kabupaten Ponorogo terdapat beberapa kabupaten seperti kabupaten Polorejo di utara, kabupaten Kutho Wetan di kota lama, dan kabupaten Sumoroto di kawasan barat. Secara arsitektur, model kompleks pemakaman ini masih berciri khas arsitektur lama seperti pintu gerbangnya yang mirip candi, dan bentuk pesarean yang berbentuk tradisional Jawa (limas).
Banyak orang berziarah ke Gunung Srandil, ada dari kalangan pesantren yang membaca Surat Yasin, ada kalangan Kejawen, bahkan warga Budha.
Yang dimakamkan di pesarean Srandil antara lain, Raden Mertokusumo (bernama asli Raden Dipotaruno, beliau Patih kabupaten Polorejo. Dalam perang Diponegoro Kabupaten Polorejo memihak Pangeran Diponegoro. Belanda menyerbu kabupaten Polorejo sehingga bupati Brotonegoro gugur sedangkan patihnya Raden Dipotaruno selamat).
Makam lainnya antara lain Raden Mas Brotodirjo Bupati Sumoroto III dan makam Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Sumoroto IV. ( ) Bantarangin.net



Awal Mula Astana Srandil Ponorogo
Gapura masuk Astana Srandil
Ada 9 desa perdikan di Ponorogo, diantaranya Setono, Pulung Merdiko, Menang, Nglarangan, Taman Arum, Tegalsari, Karanggebang, Srandil, dan Tajug. Istilah perdikan mirip dengan merdeka, hamardiko, mahardika, ataupun bebas. Desa perdikan merupakan bentuk apreasiasi (hadiah) dari raja yang diberikan kepada rakyatnya yang diangap berjasa pada negaranya. Dan terjadinya desa perdikan di satu wilayah dengan wilayah lainya tidak sama, mempuyani sejarah dan cerita unik sendiri-sendiri. Dulu sebuah desa perdikan, semua rakyat dibebaskan dari segala bentuk pajak negara, bebas kerja paksa, segala urusan diatur sendiri oleh desa perdikan, namun demikian tidak boleh bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh negara (Babad Ponorogo).
Di desa Setono Kota Lama merupakan tempat jasad-jasad pendiri Ponorogo dikebumikan, dan merupakan cikal bakal kabupaten Ponorogo oleh negara saat itu desa Setono dimerdekakan.
Di desa Tegalsari dan Karanggebang hadiah dari raja karena Kyai Mohammad Besari memajukan agama Islam dan Sinuwun Pakubuwono pernah ke Tegalsari ini ketika terjadi serangan di Surakarta.
Dan berikut ini cerita tentang desa perdikan Menang dan Srandil, lokasi desa ini bersebelahan, jalur Ponorogo ke Wonogiri.
Desa perdikan Menang masuk wilayah kecamatan Jambon, satu-satunya desa perdikan di Ponorogo yang tidak diketemukan makam penguasa atau makam bangsawan.
Pada tahun 1742 Sinuwun Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo karena ada serangan yang dipimpin Raden Mas Garendhi yang dibantu orang Cina dari Semarang. Keraton Kartusuro berhasil dibobol, Sinuwun beserta istri dan anaknya yang dikawal prajurit melarikan diri ke arah timur mencapai wilayah Ponorogo. Sampai di daerah Sawo dan Tegalsari, dan setelah mendapat masukan dari Kyai Ageng Mohammad Besari di Tegalsari, Sinuwun bermaksud kondur ke Kartosuro, dan sampai di daerah ini sudah kemalaman sehingga Sinuwun beserta rombongan menginap di rumah warga, yang sering dikenal Mbok Rondo Punuk karena seorang janda yang gemuk badannya. Di rumah ini Sinuwun beserta rombongan dihidangkan jenang katul (dedak) yang diwadahi lemper (dari tanah liat), Sinuwun terlihat lahap daharnya, waktu itu belum ada sendok, Sinuwun dahar memakai daun beringin sebagai pengganti sendok, Sinuwun dahar dari tengah dan menepi ke pinggir. Dan ketika sampai tepi jenang tidak bisa dimakan karena daun beringin sudah lemas layu karena terkena panasnya jenang katul.
Lalu Mbok Rondo Punuk spontan berucap, "Menyuap makanan kok dari tengah, pertanda kalau perang pasti kalah, coba dari tepi sedikit demi sedikit ke tengah, kalau perang pasti menang."
Lalu Sinuwun tersentak dengan ucapan pemilik rumah ini, karena ucapannya mengandung filosofi perang, dan dirumah ini Sinuwun menyusun siasat perang seperti kata-kata mbok Rondo.
Paginya Sinuwun dan rombongan berpamitan, namun Sinuwun masih menyembunyikan jati dirinya, dan mbok Rondo suatu saat disuruh datang ke tempatnya dengan ciri rumah berhalaman luas dan ada pohon beringinnya.
Dan di suatu waktu mbok Rondo dan keponakannya ingin pergi ke rumah orang yang telah menginap dirumahnya, betapa terkejutnya ternyata beliau adalah Sinuwun Pakubuwono II yang menjadi junjungannya. Dan oleh Siunuwun dihadiahi pakaian, perhiasan, serta piagam supaya diserahkan pada Bupati Ponorogo, dan oleh Sinuwun desanya dinyatakan sebagai desa perdikan dan dinamai Desa Menang, berawal dari sini kemenangan bisa diraih.
Disebelah barat desa Menang terdapat desa Srandil, kedua desa ini bersebelahan bahkan balai desanya nyaris berdampingan, dan keduanya sama-sama desa perdikan. Di desa Srandil ini terdapat Astana Srandil dimana para bangsawan atau penguasa Ponorogo khususnya para bupati Sumoroto beserta keluarga dan kerabat. Lokasi makam ini berada di bukit utara jalan menuju Ponorogo-Wonogiri, dari gapura depan kurang lebih 1 km sesampai dipuncak, dan sebelum ke puncak kita mampir ke juru kunci Pak Saidi untuk minta ijin, atau pinjam kunci dan mengisi buku tamu. Barulah kita mempersiapakan tenaga karena jalan terus menanjak dan hanya bisa dilewati jalan kaki. Meski capek dan terengah-engah jangan khawatir sesampai diatas bisa terobati dengan indahnya pemandangan perkampungan Ponorogo di utara, timur, selatan dan barat yang hijau yang ditiup semilir angin, yang seakan Ponorogo kepung gunung sebagai pagarnya, dan yang paling indah di sore hari kita bisa menyaksikan matahari tenggelam di sela-sela gagahnya gunung Lawu.
Di komplek makam ini dikebumikan jasad-jasad, dari sebelah barat; Raden Mas Ruya Suryodikusumo (Patih), Raden Ayu Sumonagoro (istri bupati Sumoroto), Raden Mertokusumo (putra bupati Kutho Wetan, yang memulai babad Srandil), dan gedong sebelah timurnya; Raden Tumenggung Brotodirdjo dan istri bupati Sumoroto III, di luar gedung sebelah barat; Radenmas Tondowinoto dan istri, Wadono Kutu Tamansari, halaman sebelah timur Raden Aryogiri (Bupati Ponorogo), halaman sebelah timur Surodiwiryo (lurah Srandil).
Dan makam yang nisannya berupa batu bata yang berserakan ini diyakini tempat jasad legenda Ponorogo Warok Suromenggolo dikebumikan, meski di daerah Kertosari dan Ngampel Balong juga ada makam Suromenggolo, namun menurut pak Saidi dan masyarakat sekitar tempat inilah jasad beliau dikebumikan, yang lainnya berupa senjata atau barang-barang pribadinya. 



Nisan dari batu bata ini diper jasad legenda Ponorogo,

Dan dibukit sebelah timur diluar komplek astana Srandil bisa kita ketemukan makam Eyang Potromenggolo, yang merupakan tokoh penting di Ponorogo. Makamnya kurang terawat dibanding yang berada di dalam gedong sebelah barat. Menurut pak Saidi jarang orang yang mengetahui siapa beliau. Makam Eyang Potromenggolo
Peziarah biasanya datang berombongan, dari wilayah Ponorogo, Madiun, dan Solo. Paling ramai pada Kamis malam Jumat Pon, peziarah tinggal mampir ke rumah juru kunci yang berada di dekat masjid menuju ke bukit, juru kunci akan siap 24 jam, dan bilamana pergi kunci akan diserahkan kepada peziarah dan setelah selesai dikembalikan lagi ke rumahnya.
Ada yang istimewa bagi juru kunci didesa perdikan di Ponorogo, mereka mendapat gaji dari dinas Purbakala di Mojokerto, gajiannya diambil tiap 3 bulan sekali sambil melaporkan kegiatan triwulanannya, dan setiap semester sekali pergi ke Surabaya untuk melaporkan semesterannya.
Ketika ditanya berapa nilai gajinya, pak Saidi sambil tersenyum, "Pokok lumayan mas, luwih sejuta sebulan, lumayan bisa buat kebutuhan lainnya, meski ngambilnya harus ke Mojokerto, itung-itung sambil dolan.....".
Itu cerita desa perdikan jaman dulu, namun setelah , semua kabupaten diluar tanah Kejawen menjadi wilayah jajahan Belanda, dan oleh karena itu desa perdikan hilang kemerdekaanya. Dan berdasar Peraturan Pemerintah RI tahun 1946 semua desa perdikan hilang kemerdekaannya. Diakhir tahun 90-an banyak masyarakat di desa perdikan di Ponorogo mengurus sertifikat kepemilikan, dengan begitu tanah yang mereka miliki terpajak dan bisa diperjual-belikan.
Bagi perangkat desa mendapat tanah garapan berupa bengkok sebagian pengganti upah, seperti halnya di Desa Pulung Merdiko semua perangkat desa mendapat tanah bengkok, bahkan imam masjid, tukang adzan, dan penabuh bedug juga mendapat tanah bengkok. Perjanjian Gianti 1755
Desa perdikan tinggalkan cerita tentang ungkapan bahagia seorang raja terhadap jasa warganya, desa perdikan wujud kedekatan penguasa dan rakyatnya. Meski tinggal cerita namun hubungan kawulo dan gusti masih terpelihara sebagai tradisi orang Jawa yang menghormati rajanya sampai akhir hayatnya.

Sumber : Kompasiana - Desa Perdikan Apresiasi Raja Buat Rakyatnya Yang Berjasa

Selasa, 16 Mei 2017

Legenda Telaga Ngebel


Diceritakan pada jaman dahulu kala waktu Ki Ageng Mangir merantau ke Jawa Timur sampai di Daerah Kabupaten Ngrowo yang akhirnya menjadi Tulungagung sedang Istrinya bernama Roro Kijang yang ikut serta merantau, pada hari waktu Roro Kijang hendak makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang namun tak dapat menemukan, akhirnya minta pisau kepada Suaminya oleh Suaminya diberi Pisau Pusaka, Seking dengan berpesan kepada Istrinya :
– Agar lekas dikembalikan
– Jangan sekali pisau itu ditaruh dipangkuannya.

Pisau Pusaka Seking diterima dan terus dipergunakan untuk membelah pinang, sambil makan sirih ia duduk – duduk, dengan enak ia menikrnati rasa daun sirih dan Pinangnya.
Kemudian lupa pesan Suaminya dan pisau pusaka itu ditaruh diatas pangkuannya, tetapi apa yang teijadi ia amat terkejut dan heran karena pisau diatas pangkuannya seketika itu hilang musnah dicari kesana kemari tidak ada.
Dengan ratap dan tangis iamenceritakan apa yang terjadi dan yang telah dialami kepada Ki Ageng Mangir. Suaminya menerima kejadian itu dengan sabar hati, karena hal itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan untuk menebus kesalahannya ini Roro Kijang harus bertapa di tengah – tengah Rawa.
Roro Kijang menerima segala kesalahan yang dilimpahkan kepadanya dan dengan rasa sedih hati ia melaksanakan perintah Suaminya bertapa di tengah Rawa sedang Ki Ageng Mangir lalu kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah barat.
Diceritakan bahwa Roro Kijang perutnya makin hari semakin bertambah besar seperti orang bunting, tepatnya waktu itu ia melahirkan tetapi apa yang terjadi, ia tidak melahirkan seorang anak manusia melainkan seekor ular.Sekalipun ular tetapi tidak sembarang ular ia ular yang Ajaib kulitnya jercahaya berkilauan seperti emas kepalanya seperti Mahkota.
Roro Kijang terkejut dan sangat takut serta merasa malu untung tak ada rang mengetahuinya. Roro Kijang lalu mengambil sebuah Kelemting yang libawanya lalu dipasang pada leher si Ular kemudian di tutup dengan empayan setelah itu Roro Kijang pindah bertapa dilain tempat.
Bayi Ular semakin lama semain besar sehingga tempayan tempat ia terkurung makin lama makin sesak lama kelamaan tempayannya pecah dan alar dapat keluar.
Diluar ular makin lama bertambah semakin besar dan kuat kulitnya kena sinar Matahari semakin terang dan bercahaya gemerlapan.
Ia menjalar kesana kemari sambil menggerak – gerakan kepalanya sehingga kelenting dilehemya berbunyi : kelinting – kelinting, karena ia merasa hidup sendirian maka timbulah pertanyaan dalam hatinya, siapakah yang melahirkan mereka / dirinya dan siapakah kedua Orang tuanya. Akhirnya timbulah niat untuk mencari kedua Orang tuanya dan dilihatnya iari jauh ada seorang sedang bertapa. Yang akhimya orang pertapa tadi idalah ibunya yaitu Roro Kijang, yang selanjutnya memberi nama kepada maknya dengan nama Baru Klinting.
Atas pesan dan saran Ibunya yaitu Roro Kijang. Baru Klinting disuruh menyusul / mencari orang tuanya yang sedang bertapa digunung Wilis, Baru klinting lalu beijalan menuju ke gunung Wilis karena yang dituju jauh dan »udah payah lalu berhenti. Bekas tempat istirahat akhimya menjadi desa fang bemama Desa Baru Klinting masuk Kabupaten Tulungagung. Ki Ageng Mangir setelah bertapa di Gunung Wilis ia berubah nama menjadi Ajar aolokantoro, ketika ia sedang bertapa datanglah Baru Klinting dihadapan- lya.
sebagai seorang pertapa yang telah tinggi Ilmunya, ia telah dapat mengetahui apa yang telah terjadi, terutama rente tan dengan peristiwa hilangnya pisau pusaka Seking dahulu.
Kedatangan Baru Klinting mengutarakan maksudnya sesuai petunjuk bunya Roro Kijang bahwa yang pertapa di sini adalah Ayahnya dan Ajar solokantoro mau mengaku sebagai ayahnya, tetapi sebelumnya harus menurut perintahnya dahulu yaitu : Lingkarilah Gunung Wilis ini kalau dari ujung ekor sampai kepalamu cukup panjang untuk melingkari Gunung Wilis ini rnaka akan diterima sebagai anaknya.
Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari kaki Gunung, ekor didepan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi tinggal sepanjang jari saja. Untuk mencapai Ekornya maka dengan seijinnya Baru Klinting mengeluarkan lidahnya dengan sepanjang-panjangnya sampai ke Ujung ekor, setelah lidah Baru Klinting dijulurkan sampai ke ekor maka pertapa lalu mencabut pisau, lidah Baru Klinting lalu di potong seketika itu juga putuslah lidah Baru Klinting yang sebelah dan lidah yang sebelah masih menyambung ekor sedang baru kliting sendiri kesakitan. Dengan menahan sakit maka marahlah Baru Klinting ditariknya ekor dan mengagah mulutnya akan menelan sang Ayah, tetapi setelah diberi penger- tian bahwa apabila ingin menjadi manusia agar jangan mempunyai lidah bercabang duajadi harus dipotong yang satunya, atas saran sang Ayah maka ditelanlah potongan lidah yang satu tetapi harus dikeluarkan lagi dan jangan dikeluarkan melalui mulut.
Lidah dikeluarkan melalui telinga tetapi keluarlah sebuah pusaka yang disebut Tobak Baru Klinting yang kelak sangat bermanfaat untuk Baru Klinting.
Atas petunjuk Sang Ayah maka Baru Klinting meneruskan bertapa sampai berpuluh tahun didalam hutan. Lama-kelamaan badannya tertim- bun oleh daun daun dan tanah sehingga sebagian badan yang tidak terpen- dam kelihatan seperti batang kayu, bagian kepala saja yang dapat kelihatan terang muncul disuatu desa yang dinamakan desa “Sirah Naga” termasuk Kecamatan Millir Kabupaten Madiun.
Pada suatu hari didesa Ngebel dilereng Gunung Wilis akan mengadakan Bersih desa pelaksanaannya dipusatkan dirumah Kepala Desa segala biaya dipikul oleh Rakyat dalam desa untuk menghemat biaya semua warga desa laki-laki supaya masuk hutan mencari binatang buruan baik Kijang, Rusa ataupun yang lainnya untuk lauk pauk dalam pesta Rakyat nanti.
Pada pagi harinya orang desa yang laki-laki berduyun-duyun masuk n mereka membawa parang, kapak sabit dan, keranjang dan tali, mya nasib sedang sial padanya hampir seharian tak seekorpun dapat 1 buruannya, semua lelah dan payah, oleh Pimpinannya diperintahkan lk berhenti di tempat masing-masing sambil menunggu kalau ada tang yang terlihat diantara sekian banyak ada seorang yang sambil uk mengayunkan kapaknya ke batang kayu, anehnya kayu itu men- arkan darah, ia amat terkejut sambil berteriak. Karena batang kayu itu geluarkan darah maka yang lainpun mencoba mengiris batang kayu tapi . keluar darahnya.
Semua riang gembira barang yang disangka kayu itu dipotong-potong mjangbadannya. Merekaberamai-ramai membawa pulanghasilburuan- dan dimasak bersama-sama dirumah Kepala Desa. Sehari semalam di dopo Kepala Desa diadakan keramaian, semua Rakyat didesa laki-laki :mpuan, tua muda datang melihatnya Orang tua didalam Rum ah dan k-anak di halaman rumah. Sewaktu anak-anak sedang bermain di luar irnan rumah, datanglah seorang anak compang-camping Pakaiannya dan yak luka di badannya, dimana anak itu datang mendekati anak-anak a itu datang menjauh.
eka merasa muak melihat anak itu datang merasa dihina oleh kawan- rannya, maka ia lalu pergi ke Dapur minta nasi, semua orang benci ihatnya dan tak ada seorangpun mau memberi nasi. Kemudian datang seorang nenek tua yang memberi nasi sebungkus penuh dengan pindang dan sate nasi diterima terus saja dimakan sebentar saja habis. Perutnya kenyang dan badannya menjadi kuat, aneh bin Ajaib semua luka-luka di badannya hilang sama sekali dan bentuk badannya menjadi baik seperti anak-anak di desa itu.
Ia mendekati nenek tua itu yang telah memberi nasi tadi dan berpesan pada nenek tadi apabila ada apa-apa agar nenek tadi membawa entong(cidok nasi) dan lekas saja naik lesung, anak itu lalu meninggalkan nenek itu dan berkumpul dengan anak-anak desa itu.
Dengan membawa sebuah lidi sapu ia masuk kelingkaran tempat anak- anak bermain seraya menantang kepada anak-anak desa itu, bahwa siapa yang bisa mencabut lidi yang baru ditancapkan ditanah akan diberi hadiah sebungkus nasi penuh dengan daging. Semua anak datang mencobanya tetapi tak berhasil malahan orang tuapun datang ingin mencobanya men­cabut lidi tetapi juga tidak adayang berhasil. Dengan berpesan kepada orang desa itu bahwa orang kikir itu tidak baik dan tidak mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan jangan berlagak sombong dan suka menghina orang lain. Akhirnya anak kecil itu dengan perlahan-lahan mencabut lidi sapu yang tertancap di tadi dengan mudahnya seolah-olah timbul sebuah mata air yang besar dan menggenangi halaman dan pekarangan kepala desa.
Oleh karena derasnya air maka anak-anak dan Orang tua jatuh tenggelam semua orang mati dan segala Bangunan roboh terapung- apung sebentar saja desa itu tenggelam dan menjadi Danau yang selanjutnya dinamakan ” danau Ngebel “ .
Hanya dua Orang yang selamat yaitu nenek tua dan anak kecil tadi dimana setelah mengetahui ada air datang ia langsung naik lesung sebagai perahunya dan Entong sebagai alat pendayung. Nenek tua bersama anak kecil tadi menjalankan perahunya ketepi danau lalu mendarat. Tempat mendarat ini ditepi pasar Ngebel nenek tua tadi tinggal dan menetap disitu sampai ajalnya dan dimakamkan ditengah-tengah Pasar Ngebel. Akhirnya nenek tua itu disebut “Nyai Latung” dan telaga tadi disebut dengan sebutan ” Telaga Ngebel
Diceritakan bahwa Baru klinting yang sedang bertapa dalam hutan karena perbuatan penduduk Ngebel maka badannya telah hancur tinggal bagian Kepalanya saja. Kepalanya menjadi batu terletak di Desa sebelah Barat dari Desa Ngebel. Tempat kepala ini akhirnya dinamakan Desa
“Sirah Naga”. Dengan takdir illahi Baru Klinting setelah hancur badannya menjelma menjadi seorang anak kecil dan disebut anak bajang dan si Bajang inilah yang membuat permainan lidi sapu tadi. Setelah si Bajang berpisah dengan nenek tua lalu ia mencari Orang tuanya ditinggalkannya Danau Ngebel, lalu pergi ke Gunung-gunung mencari tempat Orang tuanya bertapa. Setelah bertemu lalu menghadap Orang tuanya (Ayahnya) sambil menyampaikan bahwa perintah Ayahnya telah dilaksanakan dengan baik.
Sang Ayah akhimya mengakui bahwa ia anaknya dan diberi nama “Joko Baru” dan diberinya sebuah Pusaka Tombak bemama “Tombak Baru Kuping” Joko Bam dengan rasa ham bersujud dan menerima sebuah pusaka dari Ayahnya. Setelah menerima Pusaka Joko Baru diberi nasehat- nasehat dan disuruh pergi ke arah timur Gunung Wilis dan jangan berhenti kalau belum sampai ke sebuah Rawayang luas dan Ayahnya berpesan bahwa disitulah tempat Tumpah darah Joko Baru. Setelah sampai ditempat itu agar nanti Joko Baru membangun tanah kelahirannya, sebab dengan pusaka ini nanti Joko akan menjadi Orang Besar dan setelah itu dicarilah Ibunya dan dipeliharalah bersamamu dengan baik.
Setelah cukup pesan Ayahnya Joko bersujud dan mohon diri untuk melaksanakan perintah Ayahnya. Joko terus pergi kearah timur Gunung Wilis setelah berjalan berhari-hari sampailah di tanah Ngrowo dan bertemu dengan ibunya serta diterima dengan senang hati.
Akhirnya pusaka Kuping menjadi Pusaka Wasiat Kabupaten Bonorowo yang ahimya pindah ke utara menjadi Kabupaten Tulungagung.
Demikian cerita singkat/Legenda Telaga Ngebel mudah-mudahan menjadi obyek Wisata yang baik

Di tulis oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Legenda Telaga Ngebel;
Kabupaten Dati II Ponorogo , Madiun, Cabang Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur di Madiun , th.1995, hlm. 1-6

Sabtu, 13 Mei 2017

Reog Dan Sejarahnya


A.TENTANG DAN FILOSOFI
Raden Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo diyakini menjadi penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo. Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya. Pada saat pemerintahan Kerajaan Demak, Batoro Katong diperintahkan untuk menyelidiki daerah Wengker. Singkat cerita Batoro Katong menjadi Bupati pertama Ponorogo. Pada saat itu di Wengker terdapat kesenian barongan, kemudian oleh Batoro Katong nama Barongan diganti dengan nama Reyog. Reyog tersebut digunakan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah Wengker. Berikut ini salah satu contoh media da’wah Raden Batoro Katong.
1. DADAK REYOG
Dadak reyog diambil dari bahasa arab “Riyoqun” yang bermakna Khusnul Khotimah. Hal ini bisa diartikan seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa dan noda, bilamana sadar dan beriman yang pada akhirnya bertaqwa kepada Tuhan maka jaminannya adalah sebagai manusia yang sempurna dan menjadi muslim sejati. Dalam Reyog terdapat topeng Harimau (Barongan / Cekathakan ) yang angker dan angkuh dihiasi oleh bulu burung merak yang hijau kebiru – biruan dan mengkilat. Topeng harimau melambangkan kejahatan dan bulu merak melambangkan kebajikan. Ini mengingatkan kepada kita bahwa setiap kejahatan akan terkalahkan oleh kebajikan.
Selain warna bulu merak yang indah, kalau kita amati ada 4 (empat) warna yang dominan dalam kesenian reog yaitu hitam, putih, kuning dan merah. Warna – warna ini bukanlah tanpa makna namun para pinesepuh telah menempatkan warna yang mempunyai makna atau yang menyimbolkan nafsu – nafsu yang ada dalam diri manusia. Secara garis besar warna – warna itu menyimbolkan :
1. Warna Merah menyimbolkan nafsu AMARAH
2. Warna Putih menyimbolkan nafsu MUTH’MAINAH
3. Warna Hitam menyimbolkan nafsu ALWAMAH
4. Warna Kuning menyimbolkan nafsu SUFIYAH
Simbol nafsu manusia ini dapat dipahami secara mendalam oleh beberapa atau pemain dan penonton kesenian reog. Wacana ini dapat diterangkan oleh sesepuh atau penangkapan secara alami oleh penonton dan penari. Simbolisasi ini juga relevan dengan proses kejiwaan dalam ilmu kanuragan Jawa yaitu dimulai dari proses KANURAGAN, KASEPUHAN, KASUKSMAN dan KASAMPURNAN. Simbolisasi atas warna – warna dominan dalam kesenian Reog inilah yang dapat dipetik dari tujuan Tontonan yang bisa membawa ke arah Tuntunan.
2. KENDANG
Kendang diambil dari Bahasa Arab “Qoda’a” yang bermakna rem. Artinya sebagai manusi yang hidup dimuka bumi kita harus sadar bahwa kita tak akan hidup selamanya. Maka dari itu dibutuhkan rem untuk mengendalikan kehidupan kita agar tak terjerumus dalam keangkara murkaan.
Kendang menentukan irama cepat atau lambat dan berbunyi dang, dang, dang. Ndang artinya segeralah, berarti segeralah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
3. KENONG
Kenong diambil dari Bahasa Arab “Qona’a” yang bermakna menerima takdir. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan kita dilarang untuk mengeluh dengan apa yang terjadi pada diri kita. Kita diwajibkan untuk selalu berusaha dan berdoa untuk merubah hidup kita.
Kenong memiliki suara nang, ning, nong, nung. Nang berarti ana, ning berate bening, nong berarti plong (mengerti), nung berarti dumunung (sadar). Maksutnya setelah manusia ada lalu berfikir dengan hati hyang bening maka dapat mengerti sehingga sadar bahwa keberadaannya tentu ada yang menciptakannya yaitu Allah SWT.
4. KETIPUNG
Ketipung diambil dari Bahasa Arab”Katifun” yang berarti balasan. Setiap perbuatan yang kita lakukan dimuka bumi ini akan mendapatkan balasan dari tuhan kelak di hari akhir. Untuk itu kita dianjurkan untuk selalu berbuat kebajikan setiap waktu.
5. KETHUK
Diambil dari Bahasa Arab “Khotok” yang berarti banyak salah. Manusia adalah tempatnya berbuat salah dan dosa, maka dari itu kita selalu diingatkan untuk selalu bertaubat.
Kethuk berbunyi thuk, artinya matuk atau setuju.
6. GONG KEMPUL
Gong berarti Gung, setiap amal manusia dipertanggungjawabkan dihadapan Yang Maha Agung.
Kempul berasal dari Bahasa Arab “ Kafulun” artinya pembalasan atau imbalan. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan dicatat oleh malaikat yang selalu menyertai kita.
Kempul artinya kumpul atau jama’ah. Setelah ditabuh sekali dua kali, tiga kali disusul bunyi gong yang artinya agung. Lagu yang dibunyikan selalu berakhir dengan bunyi gong. Semua ibadah kita tujukan kepada yang Maha Agung.
7. TEROMPET ATAU SULING
Diambil dari Bahasa Arab “Shuwarun” artnya peringatan. Hidup manusia didunia hanya sementara, kita selalu diingatkan untuk mengisi hidup kita dengan kebaikan.
Suling artinya eling atau ingat. Ingat kepada yang menjadikan hidup. ingat
bahwa hidup di dunia tidak lama. Ingat bahwa ada kehidupan yang kekal dan bahagia yang dapat dicapai dengan amal ibadah sebanyak-banyaknya.
8. ANGKLUNG
Berasal dari Bahasa Arab “Anqul” artinya peralihan. Artinya peralihan dari hal buruk menjadi baik.
9. WAROK
Berasal dari bahasa Arab “Wira’I” artinya tirakat. Kehidupan dunia ini penuh godaan dari segala penjuru, untuk itu perlu tirakat untuk menjauhkan godaan-godaan tersebut.
10. PENADHON
Dari Bahasa Arab “Fanadun” artinya lemah. Setiap manusia memiliki kelemahan atau kekurangan-kekurangan, namun kita dilarang berputus asa karena kelemahan kita.
11. USUS-USUS Atau KOLOR
Diambil dari Bahasa arab “ Ushusun” artinya tali atau ikatan. Manusia wajib berpegang teguh pada tali Allah dalam hubungan vertical kepada Tuhan YME dan hubungan dengan sesama manusia. Selain itu Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu menjaga ikatan silaturahmi.

B.SEJARAH
Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa sejarah tarian reog ponorogo memiliki banyak versi cerita. Silahkan baca disini Seputar Reog Ponorogo. Adapun beberapa versi cerita sejarah tarian reog adalah sebagai berikut :
1. KERAJAAN BANTARANGIN
Diceritakan bahwa Raja Bantar Angin yang bergelar Prabu Kelana Sewandana jatuh cinta kepada putri dari kerajaan Kediri yang bernama Dyah Ayu Dewi Songgolangit. Oleh sebab api cinta yang tidak bisa dipadamkan, maka Prabu Kelana Sewandana kemudian mengutus Patihnya yaitu Pujonggo Anom atau yang lebih dikenal dengan Bujang Ganong untuk melamar Dyah Ayu Dewi Songgolangit. Dalam perjalanan menuju ke kerajaan Kediri, Bujang Ganong dihadang oleh Singo Barong (seorang raja dari segala harimau yang menjaga tapal batas kerajaan Kediri). Singo Barong mempunyai bentuk tubuh yang tidak lazim yaitu orang yang berbadan manusia tetapi berkepala Harimau. Prabu Singo Barong mendapat perintah dari Raja Kediri untuk memeriksa atau melarang siapapun tanpa seijin sang Raja masuk ke wilayah kerajaan Kediri.
Perjalanan Bujang Ganong terpaksa berhenti di perbatasan kerajaan Kediri karena dihadang oleh Singo Barong. Perang mulut antara keduanya sulit dihindari sehingga memuncak menjadi perang fisik. Karena kesaktian dan keperkasaan Singo Barong, Patih Bujang Ganong dapat dikalahkan dan bertekuk lutut dikaki Singo Barong. Kemudian Singo Barong menyuruh Bujang Ganong pulang ke kerajaan Bantar Angin dan melaporkan kekalahannya.
Sesampainya di kerajaan Bantar Angin, Bujang Ganong langsung menghadap Prabu Kelana Sewandana. Mendengar kekalahan dan ketidak berhasilan utusannya, beliau langsung marah dan memerintahkan Bujang Ganong untuk mengerahkan segala kekuatan bala tentaranya untuk menyerang Singo Barong dan kerajaan Kediri. Prabu Kelana Sewandana akan menghancurkan Kediri apabila Dyah Ayu Dewi Songgolangit menolak lamarannya. Dalam perjalananya, Prabu Kelana Sewandana diiringi suara bended an Gong yang riuh sekali dengan maksud untuk memberi semangat kepada prajuritnya. Seperti perjalanan sebelumnya, setelah sampai di tapal batas kerajaan Kediri, pasukan Bantar Angin dihadang oleh Singo Barong dan bala tentaranya. Akhirnya perangpun terjadi dengan dahsyatnya. Ternyata kekuatan dan kesaktian bala tentara Singo Barong sangat sulit dikalahkan oleh prajurit Bantar Angin, sehingga Prabu Kelana Sewandana harus turun tangan sendiri.
Adu kesaktian antara Prabu Kelana Sewandana dan Singo Barong berlangsung seru dan mengagumkan. Keduanya sangat sakti mandraguna dan saling serang. Prabu Kelana Sewandana sangat terpaksa mengeluarkan pusaka andalannya yaitu Cemethi Samandiman. Dengan sekali cambuk Singo barong langsung lumpuh kehilangan kekuatannya. Singo Barong menyatakan dan mengakui kekalahannya dan takhluk kepada Prabu Kelana Sewandana. Prabu Kelana Sewandana tidak keberatan menerima takhlukan Singo Barong asalkan mau menunjukkan jalan menuju ke Kerajaan Kediri dan membantu mewujudkan cita – cita Prabu Kelana Sewandana. Dua pasukan itu bergabung di bawah pimpinan Singo barong dan Bujang Ganong menuju kerajaan Kediri. Tanpa perlawanan yang berarti, pasukan kerajaan Kediri dapat dikalahkan oleh Pasukan Prabu Kelana Sewandana. Akhirnya Prabu Kelana Sewandana berhasil mempersunting Putri Kediri Dyah Ayu Dewi Songgolangit.
Untuk memperingati perjalanan dan kemenangan Prabu Kelana Sewandana ini diciptakanlah suatu kesenian yang dikenal dengan REOG.
2.  VERSI KI AGENG KUTU
Legenda kesenian reog ini merupakan sindiran atau satire sekaligus mempunyai makna simbolis yang timbul pada masa Raja Bre Kertabumi yaitu raja terakhir kerajaan Majapahit. Hal ini berawal dari menyingkirnya penasehat kerajaan yang bernama Ki Ageng Ketut Suryo Alam dari Istana Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menganggap Prabu Bre Kertabumi telah menyimpang dari tatanan moral kerajaan. Penyimpangan moral inilah yang dinilai awal dari kehancuran Majapahit, dimana kebijakan politik Majapahit waktu itu banyak dipengaruhi oleh permaisuri sehingga banyak kebijakan, peraturan Raja yang tidak benar. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menyingkir ke suatu daerah di selatan, yang bernama Kutu. Suatu desa kecil yang masuk wilayah Wengker.
Kemudian Ki Ageng Ketut Suryo Alam mendirikan sebuah padepokan yang mengajarkan sikap seorang prajurit dan kesatria yang gagah dan perkasa. Seorang prajurit harus taat kepada kerajaan dan sakti. Untuk menempuh tujuan tersebut Ki Ageng Ketut Suryo Alam atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Ki Demang Kutu melarang muridnya berhubungan dengan wanita (wadat). Menurut kepercayaanya, barang siapa melanggar ajaran tersebut, kekuatan atau kesaktinnya akan berkurang, bahkan hilang sama sekali. Untuk itulah muridnya harus tinggal di padepokannya. Kepemimpinan dan padepokan Ki Ageng Kutu cepat menyebar dan popular ke beberapa daerah lainnya.
Di dalam padepokan tersebut, Ki Ageng Kutu merenung dan berfikir, bagaimana strategi untuk melawan Majapahit yang dianggapnya meyimpang. Dalam perenungannya muncul pendapat bahwa peperangan bukanlah cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah, sehingga diciptakanlah sebuah perlawanan secara psikologis dengan membuat kritikan lewat media kesenian. Sebuah drama tari yang menggambarkan keadaan kerajaan Majapahit, dan oleh Ki Ageng Kutu disebut REOG.
Ki Ageng Kutu sebagai tokoh warok yang dikelilingi oleh para murid – muridnya menggambarkan fungsi dan peranan sesepuh masih tetap diperlukan dan harus diperhatikan.
Pelaku dalam Drama tari tersebut adalah Singo Barong yang mengenakan bulu merak di atas kepalanya menunjukkan kecongkakan atau kesombongan sang Raja, yang selalu diganggu kecantikan permaisurinya dalam menentukan kebijakan kerajaan.
Penari kuda atau Jathilan yang diperankan oleh seorang laki – laki yang lemah gemulai dan berdandan seperti wanita menggambarkan hilangnya sifat keprajuritan kerajaan Majapahit. Tarian penunggang kuda yang aneh menggambarkan ketidakjelasan peranan prajurit kerajaan, ketidak disiplinan prajurit terhadap rajanya, namun raja berusaha mengembalikan kewibawaannya kepada rakyat yang digambarkan dengan penari kuda (Jathilan) berputar – putarnya mengelilingi Sang Raja.
Seorang pujangga kerajaan digambarkan oleh Bujang Ganong yang memili wajah berwarna merah, mata melotot dan berhidung panjang menggambarkan orang bijaksana, bernalar panjang tetapi tidak digubris oleh Raja sehingga harus menyingkir dari kerajaan.
Setelah Ki Ageng Kutu meninggal, kesenian ini diteruskan oleh Ki Ageng Mirah pada masa Bathoro Katong (Bupati pertama Ponorogo) hingga sekarang. Oleh Ki Ageng Mirah cerita yang berlata belakang sindiran tersebut digantikan dengan cerita Panji. Kemudian dimasukkan tokoh – tokoh panji seperti Prabu Kelana Sewandana, Dewi Songgolangit yang menggambarkan peperangan antara kerajaan Kediri dan Bantar Angin.
3. VERSI BATORO KATONG
Versi lain yang disebutkan dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa, yang diterbitkan pada 1 Agustus 1993, pada era Bupati Gatot Sumani, menyebutkan reog Ponorogo yang semula disebut Barongan merupakan sindiran dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Prabu Brawijaya V sebagai pemimpin Majapahit saat itu, yang belum melaksanakan tugas kerajaan secara tertib, adil, dan mamadai karena dipengaruhi dan dikendalikan oleh permaisurinya.
Berawal dari cerita inilah asal usul reog Ponorogo dalam wujud seperangkat merak dan jathilan sebagai manifestasi sindiran kepada Raja Majapahit. Raja dikiaskan sebagai harimau yang ditunggangi oleh merak sebagai lambang permaisuri ( yang menguasai suami ).
Kesenian Reog terus berkembang menjadi media komunikasi dengan masyarakat. Pada masa pemerintahan Batoro Katong dan Ki Ageng Mirah sebagai pendamping setia Batoro Katong, kesenian reog terus dilestarikan. Dengan daya cipta dan rekayasa yang tepat, Ki Ageng Mirah membuat cerita legendaris yaitu cerita tentang raja Bantarangin, Prabu Kelono Sewandono yang sedang kasmaran. Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini berkembang di masyarakat Ponorogo dan diyakini hingga kini bahwa cerita itu benar-benar terjadi. Bahkan diyakini pula, bekas kerajaan Bantarangin masih tetap ada di wilayah Somoroto, Kauman.
Oleh Batoro Katong, kesenian reog ini juga digunakan sebagai media dakwah. Menurutnya kata ”Reyog” berasal dari kata ”Riyoqun” yang berarti Khusnul Khotimah. Demikian pula instrumen reog juga diberi nama yang bermakna untuk tujuan dakwah.
4. VERSI CERITA MAJAPAHIT
Akibat dari Kekacauan di Pusat Pemerintahan Majapahit dan ketidakpuasan Para Punggawa Kerajaan, salah satu Punggawa menyingkir dari Pusat Kerajaan. Hal ini dikarenakan Raja Brawijaya lebih memperhatikan istri China-nya(Putri Cempa) dan mengabaikan pendapat dari Penasehat atau Punggawa Kerajaan. Punggawa ini menyingkir ke wilayah pinggir dari Kerajaan Wengker (Ponorogo). Wengker adalah Kerajaan Bawahan Majapahit dan tidak Logis jika Punggawa ini menyingkir ke Pusat Pemerintahan Wengker (Ponorogo sekarang). Dari bentuk Candi Brongkah yang ditemukan di Brongkah sebelah barat kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek, menurut penulis Candi Brongkah adalah Batas Wilayah Kerajaan Wengker dan Kediri. Jika pendapat penulis ini benar, artinya Wilayah Pinggir dari Kerajaan Wengker meliputi 12 Kecamatan di Wilayah Kabupaten Trenggalek karena dari situs yang ditemukan di Ponorogo, Pusat Kerajan Wengker ada di Wilayah Kabupaten Ponorogo sekarang. Dan wilayah yang sejak dahulu menjadi tempat pelarian Para Punggawa Kerajaan, Raja, Perampok dan tempat Pertapaan adalah Wilayah Kecamatan Kampak Trenggalek. Kenapa Kampak, karena wilayah ini terlindung oleh gugusan bukit-bukit kecil yang mengelilinginya sehingga aman untuk tempat perlindungan. Punggawa ini tidak puas dengan Raja dan ingin memberontak. Namun apa daya, kekuatan prajurit Majapahit jauh melebihi kekuatan pengikut Punggawa ini. Akhirnya muncul ide menciptakan kesenian untuk mengkritisi Raja Brawijaya. Sesuai Karakter Orang Jawa, mengkritik tidak mau secara langsung pada sasaran karena jika salah perhitungan akan mati konyol maka digambarkan dengan lambang atau gambaran. Muncullah penggambaran Kepala Singa/Macan dan diatasnya Burung Merak adalah Raja Brawijaya yang ditunggangi atau dikendalikan istri China-nya Putri Cempa. Para laki-laki yang berhias seperti perempuan dengan kuda lumping adalah penggambaran Prajurit Majapahit yang telah Loyo dan jatuh mentalnya seperti Prajurit Perempuan menunggang kuda dan menari-nari mengikuti titah Raja yang tak lagi berwibawa. Bujang Ganong adalah penggambaran dari Pujangga sendiri yang selalu menggoda Raja atau Barongan Merak dan menari-nari dengan lincahnya. Dari sinilah kesenian Reog Ponorogo muncul dan menyebar ke seluruh Kerajaan Wengker menjadi kesenian rakyat dan terus berkembang sampai sekarang. Sedang budaya Warog sendiri menurut penulis adalah Pendeta-pendeta Suci atau orang-orang Sufi dalam Islam yang mengawal Si Punggawa. Para Pendeta atau Warog ini tidak menikah dan jika menginginkan perempuan, maka dia mencari laki-laki muda yang didandani wanita untuk dijadikan kesenangan/Gemblak agar terhindar dari perbuatan zina. Para Gemblak ini dipelihara layaknya istri dan dimanja sampai Si Warog sudah tak membutuhkan lagi.
Dari sini penulis berkesimpulan secara Subyektif mungkin, karena tidak ada data ilmiah yang bisa jadikan pedoman, bahwa Reog Ponorogo pertama kali muncul dan dikembangkan dari wilayah Kampak Kabupaten Trenggalek kemudian menyebar ke seluruh Ponorogo. Ini jadi logis karena dari data sejarah, pada Jaman Kerajaan Surakarta dan Ngayogyakarta sampai Jaman Belanda wilayah Kawedanan Kampak, Trenggalek dan Karangan masuk dalam wilayah Kadipaten/Kabupaten Ponorogo kemudian memisahkan diri dan menjadi Kabupaten tersendiri ditambah wilayah dari Pacitan dan Tulungagung.
SEMOGA BERMANFAAT.
JIKA ADA VERSI LAIN YANG BELUM DITAMBAHKAN PENULIS, MOHON POSTING DI KOMENTAR.
Artikel ini disadur dari sumber yang saya lupa alamatnya. Mohon maaf

Sejarah Ponorogo



WENGKER SEBELUM JAMAN MAJAPAHIT
Setelah kerajaan Medang di Jawa Tengah bubar, tahun 928 M Mpu Sindok pindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok naik tahta menjadi raja pertama kerajaan Medang di Jawa Timur tahun 929 M bergelar Sri Isyana Wikrama Darmatunggadewa, yang mana menjadi moyang bagi raja-raja di Jawa selama 300 tahun berturut-turut. Ia memerintah dengan permaisurinya Parameswari Sri Wardani mpu Kbi (Putri Rakai Wawa), untuk menjalankan pemerintahan. Dalam buku “Babad Ponorogo” karya Purwowijoyo, disebutkan selain Mpu Sindok ada lagi satu rombongan yang pindah ke Jawa Timur dibawah pimpinan Ketut Wijaya, putra raja Medang. Kemudian mendirikan kerajaan yang diberi nama Wengker. Ketut Wijaya berkuasa tahun 986 -1037 M.
Nama Wengker adalah akronim dari “Wewengkon angker” atau tempat yang angker. Letak kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu Wijaya bermacam versi. Dalam “Babad Ponorogo” disebutkan Sebelah utara : antara gunung Kendeng dan gunung Pandan, Sebelah Timur : Gunung Wilis sampai wilayah laut Selatan. Sebelah Selatan : Wilayah Laut selatan, dan Sebelah barat : pegunungan mulai laut selatan sampai Gunung Lawu. Dalam buku ini juga disebutkan keraton Wengker di sekitar Setono Kecamatan Jenangan (mengutip pendapat dari Prof.Dr. NJ.Krom dan Dra.Setyawati Suleman). Digambarkan Kerajaan Wengker pada saat itu aman santosa, rakyatnya senang melakukan tapa brata dan menguasai banyak ilmu batin. Adapun batas wilayah ditandai dengan sungai, untuk pertahanan wilayah terdapat tiga benteng dalam tanah istilahnya Benteng Pendem. Versi lain sebagaimana dalam buku “Ungkapan sejarah kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo” (Moelyadi) letak kerajaan Wengker masa ini adalah di daerah Dolopo Madiun, pusatnya di Desa Daha.
Pada tahun 947 M, Mpu Sindok digantikan anaknya yang bernama Sri Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Selanjutnya ia digantikan putranya, Sri Makuthawangsa Wardana. Sri Makuthawangsa Wardana mempunyai dua orang putri. Salah satu putrinya menikah dengan Dharmawangsa. Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang tampuk kekuasaan di Medang. Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama Mahendradatta menikah dengan Udayana dan mempunyai anak bernama Airlangga. Dalam memimpin Medang, Dharmawangsa mempunyai ambisi besar memperluas wilayah. Kerajaan Medang saat itu diperkirakan di sekitar daerah Maospati Magetan
Pada tahun 1016 M, kerajaan Medang diserang Sriwijaya bersama sekutunya yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh pembesar istana tewas. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Pralaya“ atau kehancuran. Dalam Prasasti Kalkuta yaitu Prasasti Airlangga, disebut bahwa “Ri Prahara, haji Wurawari maso mijil sangka Lwaran”. Letak Wurawari ada beberapa pendapat. Menurut Moh. Hari Soewarno di Jawa Timur. Menurut Prof.Dr.G.De Casparis dari Semenanjung Malaka. Ada pula yang berpendapat di Banyumas. penyerangan Raja Wurawari ada yang berpendapat disebabkan iri atas kegagalannya mempersunting putri Dharmawangsa. Selain itu berserta sekutunya ingin menghancurkan Medang. Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh ekspansif Medang yang berusaha memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan juga persaingan di bidang ekonomi.
Satu-satunya yang berhasil lolos dari serangan tersebut adalah Airlangga, yang pada saat itu sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dharmawangsa. Pada waktu itu usia Airlangga 16 tahun, beserta Narotama ia bersembunyi dan mendapatkan tempaan jasmani rohani dari gurunya yaitu Mpu Barada di hutan sekitar daerah Wonogiri. Namun pada perkembangannya lokasi penempaan Airlangga diperkirakan di daerah Pager Ukir Kecamatan Sampung Ponorogo yang dibuktikan dengan keberadaan situs bersejarah dimana terdapat bukti jejak keberadaan airlangga dan juga lokasi pegunungan dan hutan yang memenuhi syarat sebagai tempat persembunyian. Pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang terletak di bekas reruntuhan bekas Kerajaan Medang. Saat itu bekas Kerajaan Medang sepeninggal Dharmawangsa merupakan wilayah yang kecil karena setelah “pralaya”, wilayah Medang terpecah-pecah.
Tahun 1028 M, Airlangga memulai usahanya menyatukan kembali wilayah Medang, termasuk terhadap Kerajaan Wengker. Tahun 1031 Wengker bisa ditaklukkan. Pada tahun 1035 M Kerajaan Wengker ternyata bangkit dan kuat lagi. Airlangga kembali menyerang Wengker dengan kekuatan pasukan yang besar pada tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami kekalahan, terpaksa meninggalkan harta benda dan permaisurinya. Kettu Wijaya lari ke desa Topo, kemudian pindah ke Kapang diikuti beberapa prajuritnya. Karena terus diserang pasukan Airlangga ia lari ke Sarosa. Di sinilah akhirnya Ketut Wijaya bisa dikalahkan, dan ia dibunuh oleh prajuritnya sendiri, versi lain mengatakan Kettu Wijaya hilang beserta jiwa raganya (moksa). Sumber lain ada menyebutkan, setelah dikalahkan Airlangga Kettu Wijaya menjadi pertapa. Dengan demikian berakhirlah riwayat kerajaan Wengker era Kettu Wijaya. Selanjutnya wilayah Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.
Raja Wengker selanjutnya adalah Prabu Jaka Bagus (Sri Garasakan), yang memerintah Wengker tahun 1078 M, lokasi Wengker diperkirakan di utara gunung Gajah, desa Bangsalan Kecamatan Sambit Ponorogo. Prabu Jaka Bagus dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa, untuk memiliki kesaktian tersebut ia tidak mempunyai istri, sebagai gantinya ia memelihara laki-laki sebagai gantinya atau yang biasa disebut “gemblak”. Raja Jaka Bagus dikenal sebagai raja warok pertama. Warok berasal dari WARA=pria agung, pria yang diagungkan.
Wengker di masa Kerajaan Majapahit
Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah Kerajaan Wengker tidak pernah terjadi peperangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau Daha dan Jenggala atau Panjalu. Sepeninggal Airlangga terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil itu digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit nama Wengker masih eksis bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.
Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin seorang raja bernama Raden Kudamerta (Wijayarajasa), dalam Kitab Nagarakartagama disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Dari kitab ini menunjukkan bahwa yang membangun kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa, sebagai raja pertama. Dalam Kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre Dhaha. Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Cri Wijayarajasa. Yang dimaksud Bhre Dhaha adalah dewi Maharajasa adik Tribhuwana. Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.
Selain menjadi raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh yang mempunyai peran besar di Majapahit, antara lain : salah satu dari 8 tokoh yang diundang pada waktu pengangkatan mahapatih Gajahmada tahun 1364 M, diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan Gajahmada atas peristiwa Bubat, dan mendapat penghargaan dari Tribhuwana Tunggadewi.
Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi/paduka Sori menikah dengan Hayam Wuruk tahun 1357M, setelah prabu Hayam Wuruk gagal menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad. Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah adik TriBhuawana Tunggadewi (ibu Hayam Wuruk). Hayam Wuruk dan Susumma Dewi adalah sama-sama cucu Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana).
Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan (Majapahit dan Wengker), menurut Dr.NJ.Krom bahwa untuk pergi ke Bubad disamakan pendapat dengan ke Wengker. Sepeti kita ketahui Perang Bubad terjadi sebagai akibat perkawinan politik yaitu salah satu cara Majapahit menaklukkan kerajaan disekitarnya. Dalam hal ini meski Wengker adalah daerah kekuasaan Majapahit, tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit kala itu.
Dalam kurun waktu ini, dari berbagai sumber memang jarang diungkap keadaan dalam kerajaan Wengker sendiri karena memang peran Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri. Ada yang memperkirakan pusat pemerintahan Wengker pada saat itu berada di sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 saka dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawano.
Era kepemimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya adalah Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawaijaya. Ia memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun 1447-1451 M. Setelah kekosongan kekuasaan selama tiga tahun ia memimpin Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker masih disebut-sebut dalam sejarah Majapahit.
Wengker dimasa Kerajaan Demak Bintoro
Diakhir kejayayaan Majapahit yang mana wilayah majapahit terpecah-pecah. Wilayah seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya memerdekakan diri. Kerajaan kecil yang tumbuh menjadi besar adalah kesultanan Demak yang diperintah Raden Patah sekitar awal abad XVI. Demak menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Raden Patah diakui sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dengan gelar sultan. Dari Demak agama Islam disebarkan ke seluruh Jawa bahkan luar Jawa.
Raden Patah adalah putra Prabu Majapahit dengan putri Cina yang pada waktu hamil muda diberikan kepada Arya Damar, setelah lahir diberi nama Raden Patah. Prabu Majapahit yang mempunyai istri putri Cina adalah Brawijaya terakhir. Arya Damar menyatakan kepada permaisurinya bahwa putranya tesebut akan menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Sebagaimana kita ketahui Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa adalah Demak.
Pada saat Raden Patah menginjak dewasa kerajaan Hindu Majapahit telah mulai runtuh yang disebabkan perlawanan kaum bangsawan yang telah mendirikan kota di pantai utara dan mendapat dukungan Islam. Kesempatan ini dipergunakan Raden Patah menemui Sunan Ampel atau Raden Rahmad. Raden Patah mengutarakan beberapa hal mengenai Majapahit yang telah lemah. Raden Patah tinggal di rumah Raden Rahmad untuk belajar beberapa hal, setelah cukup diberi kedudukan di Bintoro.
Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar hal tersebut raja Majapahit, prabu Brawijaya mengangkat Raden Patah menjadi mangkubumi di Bintoro. Berkat dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi kerajaan Islam pertama dengan nama Demak tahun 1481 M, dibawah pimpinan Raden Patah dengan gelar Panembahan Djimbun.
Seiring munculnya Demak, Majapahit semakin parah dilanda krisis, Brawijaya telah diganti/direbut Girishawardana yang sebenarnya tidak berhak atas tahta Majapahit. Pada waktu raja Brawijaya terakhir, telah member wilayah kekuasaan kepada Raden Patah yang kelak dikemudian hari berkembang menjadi Kerajaan Demak. Hal yang berbeda dialami putra Brawijaya V lain yang bernama Raden Katong yang belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga terdengar berita bahwa sebelah timur Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu yang tidak mau menghadap ke Majapahit. Maka Raden Katong disuruh menghadapkan demang tersebut ke Majapahit. Selain itu Raden Katong masuk Islam.
Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau terkenal dengan sebutan kutu. Ia punggawa Majapahit yang masih termasuk kerabat keraton maka oleh Prabu Kertabumi / Brawijaya V, ia diberi jabatan demang. Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas kerajaan Wengker, yang mana seiring semakin lemahnya Majapahit. Ki Ageng Kutu meneruskan tata cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para pembantu dan punggawanya diajarkan beladiri dan berperang serta tapa brata.
Sementara itu Raden Katong dating ke wilayah Wengker bersama dengan Seloaji. Mereka menemui Ki Ageng Mirah yang merupakan putra Ki Ageng Gribig, seoarang ulama dari Malang. Ki Ageng Mirah adalah penyebar Islam di Wengker. Banyak hal penting yang dijelaskan Ki Ageng Mirah kepada Raden Katong, termasuk kesulitannya dalam menyebarkan agama Islam. Mereka kemudian sepakat berjuang bersama, Raden Katong atas dasar pemerintahan sedangkan Ki Ageng Mirah atas dasar penyebaran agama Islam. Mereka selalu koordinasi terhadap apa yang mereka hadapi dalam perjuangan ini. Ki Ageng Mirah senang mendapat mitra Raden Katong karena masih keturunan Majapahit. Masalah Raden Katong adalah Ki Ageng Kutu tidak mau menghadap ke Majapahit sedang Ki Ageng Mirah kesulitan dalam menyebarkan agama Islam.
Pihak Raden Katong berusaha melakukan pendekatan persuasif terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Ki Ageng Mirah terhadap Ki Ageng Kutu secara dialogis agar Ki Ageng Kutu bersedia menghadap ke Majapahit. Tapi Ki Ageng Kutu menolak dengan alasan antara lain Kerajaan Majapahit yang memberi pintu bagi penyebaran agama Islam padahal wilayah Wengker kebanyakan menganut agama sendiri yaitu Hindu dan Budha. Dia menganggap penyebaran Islam dipimpin Raden Patah dan justru Majapahit mengangkatnya menjadi penguasa Demak Bintoro. Ki Ageng Mirah menjelaskan bahwa pengangkan Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V. Tapi Ki Ageng Kutu tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan hal yang menyalahi aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang dilakukan Ki Ageng Mirah gagal.
Upaya persuasif dari pihak Raden Katong yang gagal dilaporkan kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya adalah mengirim pasukan Majapahit untuk menumpas Ki Ageng Kutu. Rombongan pasukan tersebut di pimpin oleh Raden Katong. Pada dasarnya Raden Katong enggan bermusuhan dengan pihak Wengker mengingat jasa Ki Ageng Kutu terhadap Majapahit begitu banyak. Tetapi Seloaji member nasehat bahwa apa yang dianggap Ki Ageng Kutu benar adalah menurut ki Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan menganggap hal yang menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan untuk menumpas, maka ia menasehati Raden katong untuk tidak ragu-ragu bertindak.
Maka singkat cerita terjadilah peperangan antara tentara Majapahit yang dipimpin Raden Katong beserta Ki Ageng Mirah dan Seloaji serta beberapa tokoh lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi perang yang dilakukan tidak dibahas ditulisan ini. Maka pada tahun 1468 M, kutu sebagai ibukota Wengker jatuh ke tangan Raden Katong dan bala tentaranya. Ki Ageng Kutu bisa dikalahkan tetapi tidak ditemukan jasadnya atau musnah di bukit yang kemudian disebut dengan Gunung Bacin. Ki Honggolono sebagai tangan kanan Ki Ageng Kutu Tewas dalam pertempuran ini. Raden Katong sangat terharu melihat kematian Ki Honggolono dan musnahnya Ki Ageng Kutu mengingat mereka berdua adalah para perwira yang berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika merebut kembali Wengker yang sempat dikuasai Kediri. Konsolidasi dalam keluarga Ki Ageng Kutu juga dilakukan antara lain menikahi dua putrid Ki Ageng Kutu yaitu Niken Sulastri dan Niken Gandini, putra pertama Ki Ageng Kutu yang bernama Surohandoko menggantikan kedudukan ayahnya di Kademangan Kutu, Suryongalim dijadikan Kepala Desa di Ngampel, Warok Gunoseco menjadi kepala desa di Siman, Waro Tromejo di Gunung Loreng Slahung.
Setelah bisa menguasai bekas kerajaan Wengker, Raden Katong mendirikan Kadipaten Baru dengan nama PONOROGO, PONO artinya pintar atau mengerti benar, ROGO artinya Badan atau jasmani. Ada pula yang menyebutkan dari asal kata “PRAMANA” yang artinya rahasia hidup dan “RAGA” yang artinya Badan atau jasmani. Kadipaten Ponorogo berdiri tahun 1496 M dengan Raden Katong sebagai Adipati pertama dengan gelar Kanjeng Panembahan Batoro Katong.
Demikian sedikit tentang sejarah perjalanan Kerajaan Wengker yang eksis selama ± 500 tahun , yang mana meskipun kerajaan kecil tetapi sangat diperhitungkan kekuataannya oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Kahuripan dan Majapahit serta peletak dasar-dasar pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari daerah yang sekarang bernama Ponorogo ini.

Serat Joyoboyo


Mbesuk yen wis ono kreto tanpa jaran (mobil),
Tanah Jawa kalungan wesi (rel kereta api),
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang (pesawat),
Kali ilang kedhunge,
Pasar ilang kumandhang'e,
Iku tondho yen tekane jaman Joyoboyo wis cedhak.
Bumi soyo suwe soyo mengkeret,
Sekilan bumi dipajeki,
Jaran doyan mangan sambel,
Wong wadon nganggo pakeyan lanang
Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman.
Akeh janji ora ditetepi,
Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe,
Menungso podho seneng nyalah,
Ora ngendahake hukum Alloh ,
Barang jahat diangkat-angkat,
Barang suci dibenci,
Akeh menungso mung ngutamakke dhuwit,
Lali kamanungsan,
Lali kabecikan,
Lali sanak lali kadang.
Akeh bopo lali anak,
Akeh anak wani nglawan ibu,
Nantang bopo,
Sedulur podho cidro,
Kulawargo podho curigo.
Konco dadi mungsuh.
Akeh menungso lali asale,
Ukuman Ratu ora adil.
Akeh wong pangkat sing jahat,
Akeh kelakuan sing ganjil,
Wong apik-apik podho kapencil,
Akeh wong nyambut gawe apik-apik podho ngroso isin,
Luwih utomo ngapusi,
Wegah nyambut gawe.
Kepingin urip mewah,
Ngumbar nafsu angkoro murko, nggedhekake duroko,
Wong bener thenger-thenger,
Wong salah malah bungah,
Wong apik ditampik-tampik,
Wong jahat munggah pangkat
Wong agung kasinggung,
Wong olo kapujo,
Wong wadon ilang kawirangane,
Wong lanang ilang kaprawirane
Akeh wong lanang ora duwe bojo,
Akeh wong wadon ora setyo marang bojone,
Akeh ibu podho ngedol anake,
Akeh wong wadon ngedol awake,
Akeh wong ijol2an bojone.
Wong wadon nunggang jaran,
Wong lanang linggih plangki,
Rondho seuang loro,
Prawan seaga lima,
Dhudho pincang laku sembilan uang.
Akeh wong ngedol elmu,
Akeh wong ngaku-aku,
Njobone putih njerone dhadhu,
Ngakune suci, nanging sucine palsu.
Akeh bujuk akeh lojo,
Akeh udan salah mongso,
Akeh prawan tuwo,
Akeh rondho nglairake anak,
Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapak'e.
Agomo akeh sing nantang,
Prikamanungsan soyo ilang.
Omah suci dibenci,
Omah olo soyo dipujo.
Wong wadon lacur ing ngendi-endi,
Akeh laknat,
Akeh pengkhianat.
Anak mangan bapak,
Sedulur mangan sedulur.
Konco dadi mungsuh.
Guru disatru.
Tonggo podho curiga.
Kono-kene soyo angkoro murko.
Sing weruh kebubuhan,
Sing ora weruh ketutuh.
Mbesuk yen ono peperangan.
Teko soko wetan, kulon, kidul lan lor.
Akeh wong becik soyo sengsoro,
Wong jahat soyo seneng.
Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul.
Wong salah dianggep bener.
Pengkhianat nikmat.
Durjono soyo sempurno.
Wong jahat munggah pangkat.
Wong lugu kebelenggu.
Wong mulyo dikunjoro.
Sing curang garang.
Sing jujur kojur.
Pedagang akeh sing keplarang.
Wong main akeh sing ndadi.
Akeh barang haram.
Akeh anak haram.
Wong wadon nglamar wong lanang.
Wong lanang ngasorake drajate dhewe.
Akeh barang-barang mlebu luang.
Akeh wong kaliren lan wudo.
Wong tuku ngglenik sing dodol.
Sing dodol akal okol.
Wong golek pangan koyo gabah diinteri.
Sing kebat kliwat.
Sing telah sambat.
Sing gedhe kesasar.
Sing cilik kepleset.
Sing anggak ketunggak.
Sing wedi mati.
Sing nekat mbrekat.
Sing jerih ketindhih.
Sing ngawur makmur.
Sing ngati-ati ngrintih.
Sing ngedan keduman.
Sing waras nggagas.
Wong tani ditaleni.
Wong dora uro-uro.
Ratu ora netepi janji, musno panguwasane.
Bupati dadi rakyat.
Wong cilik dadi priyayi.
Sing mendele dadi gedhe.
Sing jujur ajur.
Akeh omah ing ndhuwur jaran.
Wong mangan wong.
Anak lali bapak.
Wong tuwa lali tuwane.
Pedagang adol barang saya laris.
Bondhone soyo ludhes.
Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan.
Akeh wong nyekel bondho nanging uripe sengsoro.
Sing edan biso dandan.
Sing bengkong biso nggalang gedhong.
Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil.
Ono peperangan ing njero.
Timbul amarga para pangkat akeh sing salah tompo ...
Pitutur Jowo asli iki ojo dilalekno ...
Urip iku mung sedhelo ...
Mulo, pitutur iki sebarno marang poro konco ...!!

Gowong.

Rabu, 10 Mei 2017

Pitutur Semar


1. Urip Iku Urup
(Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik)
2. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dhur angkoro
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
3. Suro Diro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti.
(segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)
4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpo Bondho
(Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan)
5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman
(Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut; Jangan mudah kolokan atau manja).
7. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).
8. Ojo Keminter Mundak Keblinger, Ojo Cidra Mundak Ciloko
(Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
9. Ojo Milik Barang Kang elok, Ojo Mangro Mundak Kendo
(Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).
10. Ojo Adigang, Adigung, Adiguna
(Jangan sok Kuasa, sok Besar, sok Pintar).
* Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, merupakan simbolisasi berbagai dualisme di jagat raya.
Tubuhnya yang Bulat
Merupakan simbol dari bumi tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
* Semar dilukiskan selalu tersenyum tapi matanya selalu sembab dan mengeluarkan air mata
Penggambaran ini adalah simbol dualisme suka dan duka yang menyertai manusia
* Wajah semar terlihat tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil
Ini simbol tua dan muda
* Semar berkelamin laki-laki tapi memiliki payudara seperti perempuan
Ini merupakan simbol maskulinitas dan feminitas
* Semar juga digambarkan sebagai penjelmaan dewa, namun hidup sebagai rakyat jelata. Ia juga berdiri sekaligus jongkok
Semuanya dapat ditafsirkan bahwa semar adalah simbol manunggalnya bawahan dan ataan, manunggalnya yang profan dan sakral, manunggaling kawula gusti.

Gowong's..

Wong Jowo Ojo Ilang Jowone


Para Sedulur dan Kadhang kinasih saya dimanapun berada, ketahuilah. Tanah jawa, bukanlah asal tanah, ada ribuan, bahkan mungkin juta’an atau miliyaran sejarah yang tersembunyi didalamnya, yang jika di ungkap, tidak bisa di jelaskan hanya dengan bukti ilmu logika semata, secanggih apapun ilmu logika tersebut. Itu terbukti dari banyaknya para ilmuwan manca negara, yang sengaja di datangkan, atau tidak sengaja di datangkan ke Tanah jawa, untuk meneliti dan mengukur Tanah jawa. Bumi pertiwi tempat tinggal kita sejak dulu hingga sekarang ini.
Disengaja atau tidak di sengaja, memang sebagian berhasil mendeteksi dan menemukan beberapa titik jejak leluhur jawa, namun sejauh penelitian mereka, belum ada satupun yang mampu menjelaskan dengan benar dan pasti, tentang apa yang mereka temukan.
Ini menandakan, bahwa tanah jawa, bukan asal tanah, sebagaimana tanah-tanah yang berada di kepulauan lainnya atau negara-negara lainnya. Itulah Tanah Jawa kita. Peninggalan para leluhur kita, yang Patut kita Banggakan dan kita Pertahankan segenap Jiwa Raga kita.
Disisi lain, tidak sedikit sejarah-sejarah tersurat dan tersirat, yang menceritakan dan mengabarkan tentang kelebihan-kelebihan orang jawa. Hingga sampai ke negeri luar, orang jawa selalu mendapat sorotan paling khusus dan istimewa, sejak jaman berhala hingga jaman keNabian dan jaman modern sekarang.
Ini menandakan, bahwa Para leluhur kita, bukanlah manusia-manusia biasa. Seperti manusia-manusia hebat da sakti lainnya, yang hidup di luar Tanah jawa, Yang wajib kita junjung tinggi martabatnya, dan kita hormati perjuangannya, hingga sepenuh hati kita, sebagai keturunan dan pewarisnya.
Di Tanah Jawa ini. ada berapa miliyar jiwa manusia jawa, belum lagi yang berada di luar jawa, tersebar dimana-mana. Disadari atau tidak disadari, asli keturunan jawa, yang artinya, memiliki tanggung jawab, sebagai orang jawa, untuk mewarisi seluruh leluhur jawa.
Namun sayang… hanya beberapa saja. Yang mengetahui dan menyadari tentang semua dan segala halnya itu. Sehingganya… Pertanya’an yang harus muncul. Orang jawa yang manakah…?! Yang Dimaksud…!?
1. DADI WONG JOWO KUDU NGERTI JAWANE:
Kito iki urip kang diarani Jumeneng Manungso tinitah ing Alam Padhang ( Jagad Raya ). Kudu sumurup artining patrap traping susilo, ateges Toto Kromo, Toto, Titi, Titis,Nastiti, Ngati-ati, Duga-Prayogo, Temen, Sabar, Tawekal, Nerimo, Tatag, Ikhlas, Sumeleh, Hening, Heneng, Awas Heneng lan Eling serto Waspodho.
Ojo podho kleru tompo, sebab kabeh kuwi wus diatur dening ponco driyo.
Mungguh kito urip sipating Manungso, asal soko dumadi lan pambudi. Yo iku kang diarani PANGERAN SANYOTO, kuwi tegese wujud kito yekti. Mulo soko iku, kito jeneng wong kang ngaurip, Lumaku satindak kudu ngaweruhi hananiro, ojo demen lelemeran, kudu setyo tuhu marang gesangiro lan kapitayan marang badaniro dhewe, mungguh lungguhe AKU. Mulo ora gampang, yo ora angel, mungguh lakuning Manungso (Jalmo), sakbiso-biso ojo nyidrani janjiniro kang wus kawijil.
SABDO PANDHITO WATAK UTOMO :
Yen cidro temahing bilahi. Kito temen bakal tinemu. Kito becik ketitik. Kito olo ketoro.
Mulane mumpung kito isih gesang ( urip ). Ayo podho ngudi ngelmu kang sanyoto ing endi lungguhing Elmu, margane poro Sanak Kadang samiyo ngudi tuwuh kudu tumindak. SAROJO, TRISNO, SETYO, TUHU, PRASOJO lan UTOMO Jerjering Manungso.
Hananing PAMBUDI margo soko DUMADI, Banjur biso muncul unen-unen sing diarani ” ELMU lan NGELMU ” dumunung ono ing PONCO DRIYO. Ponco Driyo iki kang biso ngukir SEKABEHING Kabudayan.
Mulo Jaman kuno makunaning diarani jaman kabudan. Banjur kuwi sakwuse kang aran Agomo BUDHA. Lah Budha iku BUDI sawise budi kabudayan. pokok sekabehing Kabudayan iku diatur dening PONCO DRIYO.
Sejatining kang aran AGOMO kuwi yo BUSONO, ateges ageman, yo kang aran Lelaku Sejati. Mulo ing kene kito aturake, mungguh ananing dumadi banjur hanane Pangera Sanyoto. Banjur ono tembung kang aran A, I, U, tegese AKU, IKI, URIP. Ananing URIP ono sing NGURIPI. Ananing AKU (Kawulo) sebab ananing GUSTI, yen yo ora GUSTI wis mesti ora ono Kawulo. Sawise mengkono banjur kawijil ” ROSO – PANGROSO, biso muno lan muni, terus kabeh mau diatur dening PONCO DRIYO.
Ananing ELMU lan NGELMU, Sir Kawulo maneges marang Gusti, banjur ono wujud makno sing diarani SIDIKORO, MANEKUNG lan SEMEDI.
Punten-punten, amit lan nuwun sewu.
Poro Sanak Sedulur Kadang sedoyo calon-calon Satriyo Paningit.
Kang wus podho Winarah lan Winasis. Kang hamengku Bumi Nuswantoro. Semoga Bangsa dan Negara kita yang tercinta ini, segera bangkit dari keterpurukan ROSO, KROSO, RUMONGSO, NGRASAKAKE Hananing Urip. Yang Penuh Cinta Kasih Sayang nan Tulus. Karena kita-kita ini (terutama adalah saya pribadi) sudah bergeser menjadi sosok manusia yang LUPA dan LALAI akan “ADAMU” Asal Dumadi Ananing Manungsa Urip (Sangkan Paraning Dumadi), sehingga telah menjadi manusia yang lupa Hidupnya, tidak menjadi DIRINYA SENDIRI, itu di karenakan, kita-kita telah yang lupa pada KESEJATIAN DIRI.
2. DADI WONG JOWO OJO ILANG JAWANE:
Dadi Wong Jowo Ojo Ilang Jawane. Kudu Ngerti Maring Sangkan Paran Dumadine.
Artinya;
Jadi orang Jawa jangan hilang jati dirinya, harus memahami darimana asal usul pencipta’annya, dan akan kemana perjalanan akhir hidupnya.
Marang Ibu Pertiwi Kudu Rumongso Melu Handarbeni, Wajib Melu Hangrungkebi, Mulat Sariro Hangroso Wani.
Artinya;
Terhadap tanah kelahiran, harus merasa ikut memiliki, wajib ikut mempertahankan kehormatanya, mawas diri, dan berani mengambil tindakan demi kebaikan.
Elingo Ajining Rogo Ono Busono, Ajining Diri Ono Ing Lathi, Tumindak Kudu Weruh Empan Papan, mergo Manungso Mesthi Bakal Ngunduh Wohing Pakarti.
Artinya;
Ingatlah,,, bahwa raga manusia dihargai dari kesopanan dalam berpakaian, sedangkan jiwa manusia, dihargai dari ucapan dan kepribadian (sipat dan sikap), dalam bertindak harus tau menjaga tata krama sesuai tempat, waktu dan keadaan, karena manusia pasti akan memetik buah dari perbuatanya sendiri.
Saya. Toso Wijaya. D, alias Djaka Tolos. Dengan nama akun internet “Wong Edan Bagu” Tumitah ingalaman padhang Dadi Wong Jowo. Leluhurku jowo. Kaki niniku wong jowo. Bopo biyungku wong jowo. Lahirku dijawa. Besar dijawa dan Hidup dijawa. Anggalih Roso. Kroso. Rumongso. Ngrasakake Urip lan Angudidayaning Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi ugo Manunggaling Kawulo Gusti, kuwi Lakonku. Wahyu Panca Gha’ib, kuwi Lakuku. Tak akoni tanpo tedeng aling-aling. Saya tidak akan pernah malu jadi orang jawa. Karena jawa itu, bukan suatu hal yang memalukan. Saya tidak akan menginkari sebagai orang jawa. Karena jawa itu. Luar Biasa.
Dadi wong jowo kuwi takdirku. Aku ora keno protes marang Gusti Ingkang Moho Suci, kudu nompo takdir kuwi, lan kudu dadi wong jowo sing njawani. MBESUK YEN BALI KUDU ISA NUNGGAL, SAIKI YA KUDU ISA NUNGGAL. Yen ora biso. Berati dudu wong jowo.
Tanduran utawa wit kuwi, ana sing urip uga ana sing mati, wit kuwi mung diarani urip lan mati ora ana nyawane. Kewan ana sing urip uga ana sing mati, nanging yen durung mati-mati ijih ana nyawane. Wong uga ana sing urip lan ana sing wis mati, nanging yen ana wong lara nemen, tapi ora mati-mati, kuwi nyawane utawa ruhe, durung gelem pecat saka ragane, amerga dalane peteng, uga ana sing ngarani nyawane rangkep. Saka kandane Leluhur Jawa, kuwi wis cetha, bab urip, nyawa, raga lan ruh uga bedane tanduran, kewan lan wong.
Ana unen-unen Nusantara-Jawa ruh gentayangan, ruh ngalumbara, ruh penasaran. Kuwi ngandakake, yen ruh kuwi, durung bisa bali menyang sangkan paran, kosok baline, uga ora ana unen-unen Nusantara-Jawa urip penasaran, urip gentayangan, urip ngalumbara.
URIP kuwi ora owah ora gingsir, saka mula-mulane suci lan mesti bisa bali menyang mula-mulane, sing owah gingsir, ya ragane, uga ruhe wong kuwi. Ruh mapane aning cipta. Mula, bayi kuwi lair paningale durung isa ndelok, pangrungune durung isa krungu, saya suwe saya weruh lan krungu samubarang kalir. Urip mapane aning ati sumebar ning rasa.
Laku nunggal cara Nusantara-Jawa ya kuwi lelaku nunggal ciptane (ruh) karo rasane (urip), kuwi nunggal ning jagat cilik (raga), suwe- suwe yen wis kulina dadi isa nunggal karo jagad gede. Yen wong tilar donya, nalika isih bagas waras, ora nate lelaku nunggal, ya mesti tangeh lamun isa nunggal langgeng. Sing bener mbesuk, yen bali kudhu isa nunggal, langgeng sak lawase, mula saiki mumpung ijeh nang donya, ya kudhu isa latihan nunggal. Yen isa nunggal bakal weruh samubarang kalir.
Miturut Leluhur Jawa, akeh wong Nusantara-Jawa, malah sing ngaku-ngaku sesepuh pinisepuh sing dha keliru panemu, amerga keblituk-kepikut ngelmu kapercayan anyar, saka manca negara, banjur nyampur bawurake lelaku Nusantara-Jawa, karo kapercayan utawa agama saka manca, dadine malah ora karu-karuan.
Mula para lajer Nusantara-Jawa, aja dha keliru panemu… Kuwi welinge Para Leluhur Jawa. leluhure kita kabeh. biyen wanti-wanti kanggo para wayah kudhu lelaku Nusantara-Jawa, asli tinggalane para leluhur, ben tetep Jawa lan ngerti marang Jawane, ora owah malah dadi Jawan.
Piwelinge Leluhur Jawa, lelaku Nusantara-Jawa, kaya sing di kandakake kuwi, ora bakal ana nang agama saka manca apa wae. Sapa wae pawongan yen ameh lelaku nunggal, gelem ora gelem, diwiwiti saka apa sing wis kadung tinulis nang batuk, kudu di re-set disik, yen wis bener-bener ngerti lagi dilakoni !!!.
Aja kesusu di mangerteni disik, ben ora kebat-kliwat mundhak samubarang apa wae mung dadine nang batuk (angen-angen) utawa nang lambe marahi lamis. Hee hee hee Edan Tenan. Ngerti lan pinter kuwi beda banget lo.
WONG JOWO KUDU NGERTI JAWANE. DADI WONG JOWO OJO ILANG JAWANE. Piwulang/Wejangan “Manunggaling Kawula Gusti” adalah ajaran Jawa tentang diri pribadi manusia (cipta’an) atas belas kasih Hyang Maha Suci Hidup Allah. Yang berkenan menyertai setiap hati/qalbu sejati manusia.
Manusia Hidup karena belas kasih-Nya, maka sejak manusia diciptakan, Tuhan selalu menyertai manusia, sebagai ciptaan paling sempurna, yang diutus menjadi “kepanjangan tangan Tuhan” supaya hidup rukun dengan sesama dan alam semesta, sebagaimana diteladankan Tuhan, untuk memuliakan nama-Nya. Karena kasih-Nya (katresnan Dalem Gusti), Tuhan tidak otoriter, tetapi menghargai manusia sebagai pribadi utuh yang diberi kebebasan.
Kebebasan inilah yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi berbeda satu dengan yang lain. Upaya diri pribadi manusia yang terbuka hatinya menanggapi “Manunggaling Kawula Gusti” ini, lalu dilakukan secara sendiri-sendiri atau berkelompok, dengan lelaku glenikan, sehingga menghasilkan ngelmu klenik, yang disebut ajaran (piwulang atau kawruh kejawen) Padahal, bukanlah itu maksudnya dan bukan kesitu tujuannya.
Ini membuktikan, bahwa sesungguhnya, pengetahuan manusia, khususnya yang mengaku orang jawa, tentang “dirinya sendiri” masih sangat dangkal, daripada “diri sendiri sejati” yang diberikan Sang Pencipta. Atau dengan kata lain, Sang Pencipta mengenal diri manusia, lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia, lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.
Perbuatan yang selama ini, dilakukan kepada Tuhan, sesama dan alam semesta, yang menurut manusia sudah baik, ternyata masih sebatas ragawi, yang kasad mata, penuh pamrih dan pilih kasih, (mbancindhe mbansiladan) hanya untuk kepentingan manusia (dirinya sendiri).
Contoh;
Ketika seseorang beribadah kepada Tuhan, menganggap yang dilakukan sudah cukup (karena sikap dan perbuatannya tidak berubah), tetap melakukan kekerasan pisik/non phisik, pemarah, penfitnah, penghasut, pembenci, pendendam dll, karena dilakukan secara normatif, agamis tanpa qalbu/hati sejati.
Demikian pula, ketika perbuatan baik kepada sesama, tidak mendapatkan balasan, tanggapan semestinya atau bahkan sama sekali tidak ditanggapi menjadi kecewa, marah, tersinggung, dll. Padahal kasih yang diteladankan Tuhan, tidak pernah menuntut balas dan pilih kasih.
Oksigen untuk bernapas manusia, hangatnya matahari, segarnya air hujan, diberikan kepada setiap orang secara cuma-cuma, tanpa membedakan status, etnis/ warna kulit, agama, dan lain sabagainya.
Untuk menggali kesadaran diri hati sejati, diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya sejati berarti berserah diri tanpa reserve, melepaskan nafsu ingin memiliki dan kemauan sendiri kepada kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya, memuliakan nama-Nya.
Niat berserah diri atau pasrah kepada Tuhan, hanya dapat diwujudkan dengan Laku Wahyu Panca Ghaib atau Cinta Kasih Sayang “Wahyu/Cinta” . ”Panca/Kasih” . ”Ghaib/Sayang”
Patrapnya/Prakteknya. Nang. Neng. Ning. Nung. Diam…!!! dengan senyum, rileks dan rela melepaskan, semua kemelekatan dan keterikatan. Mengarahkan hati hanya kepada Tuhan, dilakukan secara tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, batin/qalbu menjadi wening (jernih). Wening/Jernih inilah, yang menumbuhkan kesadaran “diri sejati” bahwa Tuhan, sungguh benar-benar hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta. Bukan kelain selainnya.
Wahyu Panca Ghaib, berarti harus mau meneladani kasih-Nya, yang diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari, semakin Cinta Kasih Sayang kepada sesama dan alam semesta seisinya.
Diantaranya, memaafkan kesalahan, Memohon maaf kepada Tuhan dan sesamanya, atas segala kesalahannya dengan KUNCI. Menerima orang lain dan keadaan/peristiwa seperti apapun dengan apa adanya, tidak akan mempengaruhi orang lain dengan paksa, merubah sikap kekerasan menjadi tanpa kekerasan, dari permusuhan menjadi damai, dari hidup dengan berbagai kepalsuan, menjadi jujur dan apa adanya, dari sombong, egois dan menonjolkan diri menjadi rendah hati dan peka akan perasaan orang lain, dari serakah menjadi rela untuk berbagi hal, berbela dan berbagi rasa, melestarikan alam semesta, tidak pernah mengadili orang lain, mengritik, memaksakan kehendak, dll.
Inilah Orang Jawa yang sesungguhnya. Orang Jawa yang sebenarnya. Inilah Ajaran Jawa yang sesungguhnya. Ilmu Jawa yang sebenarnya. Warisan Leluhur Jawa untuk semua Orang Jawa.
Tuhan hanya dapat diabdi dengan “Wahyu/Cinta” . “Panca/Kasih” . “Ghaib/Sayang” dalam perbuatan nyata, bukan katanya apapun, dan tidak hanya dipikirkan atau angan-angan belaka. Hanya dengan Lakon dan Laku Cinta Kasih Sayang Tuhan dapat diperoleh, tetapi dengan pikiran tidak mungkin. Apa lagi dengan politik, sungguh mustahil.
Apabila sungguh-sungguh Orang Jawa, ORA ILANG JAWANE. MESTI NGERTI JAWANE. Yakin dan Percaya kepada Hyang Maha Suci Hidup Allah, mengarahkan hati sejati hanya kepada-Nya, yang di praktekkan dengan Lakon dan Laku Cinta Kasih Sayang.
Apabila sungguh-sungguh Orang Jawa, ORA ILANG JAWANE. MESTI NGERTI JAWANE. Maka akan dengan tegar, dapat menerima setiap keadaan apapun, tanpa harus melawan dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif, dari luar dirinya, diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan syukur. Tidak ada irihati, dendam, benci, sombong, takut, kuatir, tegang, dihantui perasaan bersalah dll, melainkan Percaya dan Yakin. Tuhan pasti akan mengatur dengan kuasanya, memberikan kesejahteraan sejati, bagi kehidupannya.
Demikian juga ketika Manembah/berdoa kepada-Nya, yakin segala permohonannya telah dikabulkan. Semua ini membuahkan bahagia, tenang, damai, nyaman “TENTERAM”. Sehingganya, berani menghadapi kenyataan hidup, dalam segala hal selalu bersyukur. (sumringah bingah, menapa-menapa wantun, syukur lan beja ingkang langgeng).
Inilah Orang Jawa yang sesungguhnya. Orang Jawa yang sebenarnya. Inilah Ajaran Jawa yang sesungguhnya. Ilmu Jawa yang sebenarnya. Warisan Leluhur Jawa untuk semua Orang Jawa. Meskipun terkesan hanya tentang relasi pribadi Manusia Hidup dengan Hyang Maha Suci Hidup “TUHANnya”, tetapi memiliki nilai sosial dan kemanusiaan tinggi, karena sipat dan sikapnya, dalam berserah diri kepada Tuhan, selalu diungkapkan dengan perbuatan Cinta Kasih Sayang kepada sesama dan alam semesta seisinya, dengan Hidup/Guru Sejati sebagai nakhodanya.
Cobalah Pikirkanlah. Salah dan Sesatkah Orang Jawa yang Mewarisi Warisan dari Leluhurnya ini…?!
Apakah Ajaran yang sudah di pelajari selama ini, seperti yang di wariskan oleh Leluhur Jawa kepada anak cucunya yaitu Orang Jawa…?!
Kalau sama seperti Ajaran warisan leluhur jawa, harusnya tidak ada istilah hitung-hitungan, tambah dan kurang, konsumerisme, hedonisme, normatif yang hanya mengutamakan urusan ragawi tanpa hati nurani. Yang mengakibatkan, orang ingin cepat memperoleh hasil secara instant, mengabaikan proses, untung rugi, yang disadari atau tidak disadari, mempengaruhi kehidupan spiritual dan keagamaan, persaingan, kalah menang, pembenaran diri, egoisme yang berbuntut konflik dengan kedok agama, suku dan ras, penguasaan sumberdaya alam tanpa ada kemauan melestarikan dan berbagi, kekerasan dll, yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab… Dimana Panca Sila Saktinya…?! Dimana Undang-Undang 45nya. Nuwun sewu… Sembah nuwun,,, Ngaturaken Sugeng Rahayu, lir Ing Sambikala Amanggih Yuwono.. Mugi pinayungan Mring Ingkang Maha Agung Mugi kerso Paring Basuki Yuwono Teguh Slamet.. BERKAH SELALU. Untukmu Sekalian Para Sedulur, khususnya Para Kadhang Konto dan Kanti Anom Didikan saya. yang senantiasa di Restui Hyang Maha Suci Hidup…..
Memaknai Ajaran Kejawen
Pokok ajaran masyarakat Jawa dikenal dengan istilah Kejawen. Ajaran kejawen kadang dipandang secara sinis oleh orang-orang tertentu dan seakan menjadi hal yang negatif yang perlu untuk dijauhi. Padahal menurut saya kejawen adalah sebuah pengetahuan, sebuah nilai dan kearifan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Jika itu bukan masalah yang prinsip dan pokok dalam ibadah saya kira ada sesuatu yang layak kita ambil dan kita petik manfaat dari ilmu kejawen tadi. Bukankah Rosulullah pernah bersabda bahwa :
“al Hikmatu Dhoollatul Mu’minin, Khaitsuma wajadaha fahuwa ahaqqu biha”
“Hikmah itu adalah barangnya orang mukmin yang hilang, siapa saja yang menemukannya maka ia berhak atasnya”
Barang yang hilang ini tentu perlu untuk dicari, dimanapun kita menemukannya maka wajib kiranya bagi kita untuk mengambilnya. Begitu pula dengan kejawen jika itu tidak berkenaan dengan ibadah mahdhoh maka alangkah bijaknya jika kita bisa mengambil manfaat darinya. Karena semua ilmu bermuasal dari yang satu yaitu Tuhan yang maha Alim. Jadi jangan sampai kita mengkonfrontasikan ajaran Islam umpamanya dengan ajaran masyarakat Jawa, tapi hendaknya kita bisa mensinergikan kearifan lokal budaya tersebut agar bisa menjadi sebuah simponi kehidupan yang indah dan menjadi sebuah harmoni yang hidup dan tidak kaku.
Wali Sanga dalam berdakwah di tanah Jawa perlu kita teladani, walau kebanyakan mereka bukan dari Jawa tetapi Wali Sanga dapat berserasi dengan pola kehidupan masyarakat Jawa secara luas. Namun sayang sekali cerita sejarah Wali Sanga ini telah banyak mengalami distorsi sejarah sehingga sulit bagi kita untuk mengungkapkannya secara detail. Sekilas banyak aroma mistik dan klenik yang menyelimuti dakwah Dewan Wali yang dikirim oleh Sultan Turki ini sangat menyulitkan kita untuk mencontoh dan meneladaninya. Namun jika kita pandai meniti cara berfikir orang Jawa yang adi luhung, penuh hikmah tentu kita tidak akan salah faham dalam memaknai segala fenomena tersebut. Karena hikmah perlu ditelaah lahir batin, sirran wa alaniyyah tidak sekedar mengandalkan kecerdasan otak dan logika saja. Ingat bahwa ilmu hikmahnya orang Jawa itu lebih tinggi dibanding filsafatnya orang Barat.
Ambil satu gambaran saja tentang pola belajar dan dakwahnya Sunan Kalijaga, beliau diceritakan ketika nyantri di Pesantren Bonang, oleh Sunan Bonang Raden Sahid putra sang Bupati ini disuruh bertapa di tepi sungai dan diberi amanat untuk menjaga tongkat Sunan Bonang hingga beliau kembali ke tempat itu. Bertahun-tahun ternyata Sunan Bonang tidak datang hingga tongkat yang ditancapkan ditanah berubah menjadi hutan bambu yang rimbun, sedang Raden Sahid masih setia duduk menunggu kedatangan gurunya. Ketika cerita semacam ini kita telan mentah-mentah tentu akan sulit bagi kita untuk meneladani cara belajarnya Sunan Kalijaga. Siapa manusia di dunia ini yang mampu hidup tanpa makan dan minum selama bertahun-tahun ? tentu secara sunnatullah tidak ada. Begitu juga tentang dakwah Sunan Kalijaga kepada beberapa muridnya juga banyak menyimpan pertanyaan yang tak bisa kita fahami secara tekstual. Seperti kisah Bupati Semarang Ki Pandalarang yang berguru setelah seorang kakek tua penjual rumpun mencangkul tanah dan berubah menjadi bongkahan emas, lalu bagaimana kita harus mengikuti cara dakwah yang demikian ? ada lagi kisah Ki Cakrajaya alis Sunan Geseng yang berguru dengan cara bertapa di tengah padang ilalang untuk menunggu kedatangan gurunya, karena ilalangnya sangat rimbun akhirnya Sunan Kalijaga mebakar rumpun ilang itu dan Ki Cakrajaya hangus terbakar dalam posisi sujud namun tidak meninggal dunia sehingga beliau dipanggil Sunan geseng.
Menurut pemahaman saya orang Jawa memang sangat halus dan suka sanepan. Sering kali sebuah cerita adalah sebuah misteri dan teka-teki yang harus kita pecahkan dengan perenungan yang mendalam.
Orang Jawa selalu menyelipkan makna yang tersirat dalam setiap cerita dan ungkapan jadi jangan cepat-cepat menghakimi kalau memang kita belum mengerti. Dan yang menjadi sumber masalah adalah kita ini kurang nguri-uri kebudayaan Jawa kita, kurang melu handarbeni pusaka warisan nenek moyang kita, malah kita merasa minder, underestimate terhadap Jawa dan silau dengan budaya luar. Oleh karena itu jangan sampai kita orang Jawa tidak tahu akan budaya Jawa. Menjadi “Wong Jawa ilang Jawane” Tidakkah kita ingat pesan Cak Nun dalam maiyahannya “ Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat”. Sekian.