Sabtu, 27 Mei 2017

Klampis Ireng


Klampis ireng adalah tempat yang terkenal angker dan sangat dikeramatkan orang-orang di Ponorogo. Berlokasi di Desa Gandu Kepuh, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo. Tempat ini berada di hutan di tengah sawah. Pada gerbang masuknya terdapat patung semar berwarna hitam dan didalamnya terdapat monumen berbentuk lingkaran serta tabung berlubang ditengahnya. Konon katanya, dulu disini terdapat pohon klampis Ireng yang sangat langka.
Menurut Wikipedia Klampis atau Acacia tomentosa adalah sejenis pohon polong-polongan yang biasa di temui di daerah tropis, dan kata "Ireng" berasal dari bahasa Jawa yang berarti Hitam. Jadi klampis ireng berarti Pohon klampis yang berwarna hitam. Jika umumnya pohon Klampis berwarna coklat, pohon ini justru berwarna hitam. Inilah yang mungkin menjadi alasan lain terkenalnya tempat ini, tempat punahnya pohon klampis ireng.
Dalam sejarahnya, klampis ireng dulunya adalah situs padepokan milik kyai Semar, salah satu tokoh pewayangan terkenal dalam grup punakawan atau kesatria Jawa yang beranggotakan Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Disitu beliau mengajarkan ilmu kejawen manunggaling kawula gusti yang berarti bersatu dengan Tuhan. Kyai Semar memang dikenal sebagai sosok yang arif, bijaksana, dan memiliki kesaktian tingkat dewa.



Karena dulunya tempat ini ditempati Kyai Semar yang sakti, maka banyak orang mengadakan ritual gaib ditempat ini. Biasanya mereka datang untuk mencari wangsit, pesugihan, meminta petunjuk, tolak bala dan lain-lain. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam ritual antara lain harus menyediakan 9 jenis bahan, seperti, kemenyan, rokok, hio, kembang telon, buah-buahan, dan lain-lain. Sedangkann pantangannya antara lain tidak boleh menggunakan pakaian warna hijau dan tidak boleh datang pada malam jum'at wage.
Ditempat ini ada juga seorang Juru Kunci yang memandu pengunjung yang berkunjung di tempat ini. Segala ritual yang akan diadakan pengunjung harus seizin juru kunci, kalau tidak ada ijin dan bertingkah laku seenaknya di tempat ini maka nasib buruk akan menimpanya. Tempat ini sendiri menurut mbah Giyanto adalah kerajaan gaib, jika kita bisa melihatnya maka akan terpampang nyata suatu pemandangan kerajaan berisi emas. Akan terlihat juga Kyai Semar serta anggota punakawan lain yang duduk di tahta kerajaan.
Tempat ini sudah bagaikan kerajaan, siapapun yang berbicara kotor bertingkah laku tidak sopan akan bernasib buruk. Termasuk jika kita mencuri kayu diarea ini tanpa seizin juru kunci maka pada malam hari kayu tersebut akan berubah menjadi potongan kaki manusia. Menurut cerita masyarakat dulu sempat ada salah satu stasiun televisi yang akan membuat acara uji nyali ditempat ini namun tak disangka kameranya meledak dan hancur sehingga acara terpaksa dialihkan ditempat lain. Benar-benar kejadian yang tidak masuk akal.


Kayu klampis ireng memang sulit ditemukan, namun ada seseorang yang bisa menemukan kayu itu secara gaib walau berukuran kecil. Kayu ini dipercaya memiliki manfaat positif, jika dipajang dirumah konon bisa mendatangkan ketentraman, kedamaian dan keamanan diseluruh isi rumah. Manfaat lainnya jika dipakai sebagai aksesoris, bisa mendatangkan rejeki, kearifan, kebijaksanaan yang tinggi, kesuksesan, jodoh. Atau bagi yang ingin punya kesaktian seperti ilmu kebal, anti guna-guna / santet bisa mencoba memakainya tapi dengan syarat-syarat tertentu.
Apapun itu, semua kembali ke diri kita masing-masing boleh percaya atau tidak. Yang jelas tetaplah meminta kepada sumber satu-satunya yaitu Tuhan YME karena tanpa kuasa dan kehendakNya semua tidak akan terjadi. Jangan sampai kita terjerumus ke dunia hitam yang membawa malapetaka pada diri kita di dunia dan akhirat.

Rabu, 17 Mei 2017

Napak Tilas Gunung Srandil Ponorogo


Astana Srandil, desa perdikan yang dihadiahkan Si pada masyarakat desa Srandil
Gunung Srandil memiliki banyak sejarah dan mitos tentang kota Ponorogo. Paseban Jati akan mengajak anda untuk “Napak Tilas Gunung Srandil”. Gunung srandil memiliki hubungan erat atau sejarah tentang lahirnya kota Ponorogo, Gunung Srandil sendiri adalah sebuah kompleks pemakaman (dalam bahasa Jawa di sebut pesarean untuk menyebutkan bahwa yang dimakamkan di dalamnya dari kalangan terhormat). Letak Gunung Srandil ini sekitar 15 km ke arah barat pusat kota Ponorogo tepatnya di Desa Srandil Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo.
Dari sudut pandang sejarah, Pesarean Gunung Srandil adalah kompleks pemakaman bupati kabupaten Sumoroto. Di jaman dahulu, struktur pemerintahan tidak seperti saat ini. Di kabupaten Ponorogo terdapat beberapa kabupaten seperti kabupaten Polorejo di utara, kabupaten Kutho Wetan di kota lama, dan kabupaten Sumoroto di kawasan barat. Secara arsitektur, model kompleks pemakaman ini masih berciri khas arsitektur lama seperti pintu gerbangnya yang mirip candi, dan bentuk pesarean yang berbentuk tradisional Jawa (limas).
Banyak orang berziarah ke Gunung Srandil, ada dari kalangan pesantren yang membaca Surat Yasin, ada kalangan Kejawen, bahkan warga Budha.
Yang dimakamkan di pesarean Srandil antara lain, Raden Mertokusumo (bernama asli Raden Dipotaruno, beliau Patih kabupaten Polorejo. Dalam perang Diponegoro Kabupaten Polorejo memihak Pangeran Diponegoro. Belanda menyerbu kabupaten Polorejo sehingga bupati Brotonegoro gugur sedangkan patihnya Raden Dipotaruno selamat).
Makam lainnya antara lain Raden Mas Brotodirjo Bupati Sumoroto III dan makam Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Sumoroto IV. ( ) Bantarangin.net



Awal Mula Astana Srandil Ponorogo
Gapura masuk Astana Srandil
Ada 9 desa perdikan di Ponorogo, diantaranya Setono, Pulung Merdiko, Menang, Nglarangan, Taman Arum, Tegalsari, Karanggebang, Srandil, dan Tajug. Istilah perdikan mirip dengan merdeka, hamardiko, mahardika, ataupun bebas. Desa perdikan merupakan bentuk apreasiasi (hadiah) dari raja yang diberikan kepada rakyatnya yang diangap berjasa pada negaranya. Dan terjadinya desa perdikan di satu wilayah dengan wilayah lainya tidak sama, mempuyani sejarah dan cerita unik sendiri-sendiri. Dulu sebuah desa perdikan, semua rakyat dibebaskan dari segala bentuk pajak negara, bebas kerja paksa, segala urusan diatur sendiri oleh desa perdikan, namun demikian tidak boleh bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh negara (Babad Ponorogo).
Di desa Setono Kota Lama merupakan tempat jasad-jasad pendiri Ponorogo dikebumikan, dan merupakan cikal bakal kabupaten Ponorogo oleh negara saat itu desa Setono dimerdekakan.
Di desa Tegalsari dan Karanggebang hadiah dari raja karena Kyai Mohammad Besari memajukan agama Islam dan Sinuwun Pakubuwono pernah ke Tegalsari ini ketika terjadi serangan di Surakarta.
Dan berikut ini cerita tentang desa perdikan Menang dan Srandil, lokasi desa ini bersebelahan, jalur Ponorogo ke Wonogiri.
Desa perdikan Menang masuk wilayah kecamatan Jambon, satu-satunya desa perdikan di Ponorogo yang tidak diketemukan makam penguasa atau makam bangsawan.
Pada tahun 1742 Sinuwun Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo karena ada serangan yang dipimpin Raden Mas Garendhi yang dibantu orang Cina dari Semarang. Keraton Kartusuro berhasil dibobol, Sinuwun beserta istri dan anaknya yang dikawal prajurit melarikan diri ke arah timur mencapai wilayah Ponorogo. Sampai di daerah Sawo dan Tegalsari, dan setelah mendapat masukan dari Kyai Ageng Mohammad Besari di Tegalsari, Sinuwun bermaksud kondur ke Kartosuro, dan sampai di daerah ini sudah kemalaman sehingga Sinuwun beserta rombongan menginap di rumah warga, yang sering dikenal Mbok Rondo Punuk karena seorang janda yang gemuk badannya. Di rumah ini Sinuwun beserta rombongan dihidangkan jenang katul (dedak) yang diwadahi lemper (dari tanah liat), Sinuwun terlihat lahap daharnya, waktu itu belum ada sendok, Sinuwun dahar memakai daun beringin sebagai pengganti sendok, Sinuwun dahar dari tengah dan menepi ke pinggir. Dan ketika sampai tepi jenang tidak bisa dimakan karena daun beringin sudah lemas layu karena terkena panasnya jenang katul.
Lalu Mbok Rondo Punuk spontan berucap, "Menyuap makanan kok dari tengah, pertanda kalau perang pasti kalah, coba dari tepi sedikit demi sedikit ke tengah, kalau perang pasti menang."
Lalu Sinuwun tersentak dengan ucapan pemilik rumah ini, karena ucapannya mengandung filosofi perang, dan dirumah ini Sinuwun menyusun siasat perang seperti kata-kata mbok Rondo.
Paginya Sinuwun dan rombongan berpamitan, namun Sinuwun masih menyembunyikan jati dirinya, dan mbok Rondo suatu saat disuruh datang ke tempatnya dengan ciri rumah berhalaman luas dan ada pohon beringinnya.
Dan di suatu waktu mbok Rondo dan keponakannya ingin pergi ke rumah orang yang telah menginap dirumahnya, betapa terkejutnya ternyata beliau adalah Sinuwun Pakubuwono II yang menjadi junjungannya. Dan oleh Siunuwun dihadiahi pakaian, perhiasan, serta piagam supaya diserahkan pada Bupati Ponorogo, dan oleh Sinuwun desanya dinyatakan sebagai desa perdikan dan dinamai Desa Menang, berawal dari sini kemenangan bisa diraih.
Disebelah barat desa Menang terdapat desa Srandil, kedua desa ini bersebelahan bahkan balai desanya nyaris berdampingan, dan keduanya sama-sama desa perdikan. Di desa Srandil ini terdapat Astana Srandil dimana para bangsawan atau penguasa Ponorogo khususnya para bupati Sumoroto beserta keluarga dan kerabat. Lokasi makam ini berada di bukit utara jalan menuju Ponorogo-Wonogiri, dari gapura depan kurang lebih 1 km sesampai dipuncak, dan sebelum ke puncak kita mampir ke juru kunci Pak Saidi untuk minta ijin, atau pinjam kunci dan mengisi buku tamu. Barulah kita mempersiapakan tenaga karena jalan terus menanjak dan hanya bisa dilewati jalan kaki. Meski capek dan terengah-engah jangan khawatir sesampai diatas bisa terobati dengan indahnya pemandangan perkampungan Ponorogo di utara, timur, selatan dan barat yang hijau yang ditiup semilir angin, yang seakan Ponorogo kepung gunung sebagai pagarnya, dan yang paling indah di sore hari kita bisa menyaksikan matahari tenggelam di sela-sela gagahnya gunung Lawu.
Di komplek makam ini dikebumikan jasad-jasad, dari sebelah barat; Raden Mas Ruya Suryodikusumo (Patih), Raden Ayu Sumonagoro (istri bupati Sumoroto), Raden Mertokusumo (putra bupati Kutho Wetan, yang memulai babad Srandil), dan gedong sebelah timurnya; Raden Tumenggung Brotodirdjo dan istri bupati Sumoroto III, di luar gedung sebelah barat; Radenmas Tondowinoto dan istri, Wadono Kutu Tamansari, halaman sebelah timur Raden Aryogiri (Bupati Ponorogo), halaman sebelah timur Surodiwiryo (lurah Srandil).
Dan makam yang nisannya berupa batu bata yang berserakan ini diyakini tempat jasad legenda Ponorogo Warok Suromenggolo dikebumikan, meski di daerah Kertosari dan Ngampel Balong juga ada makam Suromenggolo, namun menurut pak Saidi dan masyarakat sekitar tempat inilah jasad beliau dikebumikan, yang lainnya berupa senjata atau barang-barang pribadinya. 



Nisan dari batu bata ini diper jasad legenda Ponorogo,

Dan dibukit sebelah timur diluar komplek astana Srandil bisa kita ketemukan makam Eyang Potromenggolo, yang merupakan tokoh penting di Ponorogo. Makamnya kurang terawat dibanding yang berada di dalam gedong sebelah barat. Menurut pak Saidi jarang orang yang mengetahui siapa beliau. Makam Eyang Potromenggolo
Peziarah biasanya datang berombongan, dari wilayah Ponorogo, Madiun, dan Solo. Paling ramai pada Kamis malam Jumat Pon, peziarah tinggal mampir ke rumah juru kunci yang berada di dekat masjid menuju ke bukit, juru kunci akan siap 24 jam, dan bilamana pergi kunci akan diserahkan kepada peziarah dan setelah selesai dikembalikan lagi ke rumahnya.
Ada yang istimewa bagi juru kunci didesa perdikan di Ponorogo, mereka mendapat gaji dari dinas Purbakala di Mojokerto, gajiannya diambil tiap 3 bulan sekali sambil melaporkan kegiatan triwulanannya, dan setiap semester sekali pergi ke Surabaya untuk melaporkan semesterannya.
Ketika ditanya berapa nilai gajinya, pak Saidi sambil tersenyum, "Pokok lumayan mas, luwih sejuta sebulan, lumayan bisa buat kebutuhan lainnya, meski ngambilnya harus ke Mojokerto, itung-itung sambil dolan.....".
Itu cerita desa perdikan jaman dulu, namun setelah , semua kabupaten diluar tanah Kejawen menjadi wilayah jajahan Belanda, dan oleh karena itu desa perdikan hilang kemerdekaanya. Dan berdasar Peraturan Pemerintah RI tahun 1946 semua desa perdikan hilang kemerdekaannya. Diakhir tahun 90-an banyak masyarakat di desa perdikan di Ponorogo mengurus sertifikat kepemilikan, dengan begitu tanah yang mereka miliki terpajak dan bisa diperjual-belikan.
Bagi perangkat desa mendapat tanah garapan berupa bengkok sebagian pengganti upah, seperti halnya di Desa Pulung Merdiko semua perangkat desa mendapat tanah bengkok, bahkan imam masjid, tukang adzan, dan penabuh bedug juga mendapat tanah bengkok. Perjanjian Gianti 1755
Desa perdikan tinggalkan cerita tentang ungkapan bahagia seorang raja terhadap jasa warganya, desa perdikan wujud kedekatan penguasa dan rakyatnya. Meski tinggal cerita namun hubungan kawulo dan gusti masih terpelihara sebagai tradisi orang Jawa yang menghormati rajanya sampai akhir hayatnya.

Sumber : Kompasiana - Desa Perdikan Apresiasi Raja Buat Rakyatnya Yang Berjasa

Selasa, 16 Mei 2017

Legenda Telaga Ngebel


Diceritakan pada jaman dahulu kala waktu Ki Ageng Mangir merantau ke Jawa Timur sampai di Daerah Kabupaten Ngrowo yang akhirnya menjadi Tulungagung sedang Istrinya bernama Roro Kijang yang ikut serta merantau, pada hari waktu Roro Kijang hendak makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang namun tak dapat menemukan, akhirnya minta pisau kepada Suaminya oleh Suaminya diberi Pisau Pusaka, Seking dengan berpesan kepada Istrinya :
– Agar lekas dikembalikan
– Jangan sekali pisau itu ditaruh dipangkuannya.

Pisau Pusaka Seking diterima dan terus dipergunakan untuk membelah pinang, sambil makan sirih ia duduk – duduk, dengan enak ia menikrnati rasa daun sirih dan Pinangnya.
Kemudian lupa pesan Suaminya dan pisau pusaka itu ditaruh diatas pangkuannya, tetapi apa yang teijadi ia amat terkejut dan heran karena pisau diatas pangkuannya seketika itu hilang musnah dicari kesana kemari tidak ada.
Dengan ratap dan tangis iamenceritakan apa yang terjadi dan yang telah dialami kepada Ki Ageng Mangir. Suaminya menerima kejadian itu dengan sabar hati, karena hal itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan untuk menebus kesalahannya ini Roro Kijang harus bertapa di tengah – tengah Rawa.
Roro Kijang menerima segala kesalahan yang dilimpahkan kepadanya dan dengan rasa sedih hati ia melaksanakan perintah Suaminya bertapa di tengah Rawa sedang Ki Ageng Mangir lalu kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah barat.
Diceritakan bahwa Roro Kijang perutnya makin hari semakin bertambah besar seperti orang bunting, tepatnya waktu itu ia melahirkan tetapi apa yang terjadi, ia tidak melahirkan seorang anak manusia melainkan seekor ular.Sekalipun ular tetapi tidak sembarang ular ia ular yang Ajaib kulitnya jercahaya berkilauan seperti emas kepalanya seperti Mahkota.
Roro Kijang terkejut dan sangat takut serta merasa malu untung tak ada rang mengetahuinya. Roro Kijang lalu mengambil sebuah Kelemting yang libawanya lalu dipasang pada leher si Ular kemudian di tutup dengan empayan setelah itu Roro Kijang pindah bertapa dilain tempat.
Bayi Ular semakin lama semain besar sehingga tempayan tempat ia terkurung makin lama makin sesak lama kelamaan tempayannya pecah dan alar dapat keluar.
Diluar ular makin lama bertambah semakin besar dan kuat kulitnya kena sinar Matahari semakin terang dan bercahaya gemerlapan.
Ia menjalar kesana kemari sambil menggerak – gerakan kepalanya sehingga kelenting dilehemya berbunyi : kelinting – kelinting, karena ia merasa hidup sendirian maka timbulah pertanyaan dalam hatinya, siapakah yang melahirkan mereka / dirinya dan siapakah kedua Orang tuanya. Akhirnya timbulah niat untuk mencari kedua Orang tuanya dan dilihatnya iari jauh ada seorang sedang bertapa. Yang akhimya orang pertapa tadi idalah ibunya yaitu Roro Kijang, yang selanjutnya memberi nama kepada maknya dengan nama Baru Klinting.
Atas pesan dan saran Ibunya yaitu Roro Kijang. Baru Klinting disuruh menyusul / mencari orang tuanya yang sedang bertapa digunung Wilis, Baru klinting lalu beijalan menuju ke gunung Wilis karena yang dituju jauh dan »udah payah lalu berhenti. Bekas tempat istirahat akhimya menjadi desa fang bemama Desa Baru Klinting masuk Kabupaten Tulungagung. Ki Ageng Mangir setelah bertapa di Gunung Wilis ia berubah nama menjadi Ajar aolokantoro, ketika ia sedang bertapa datanglah Baru Klinting dihadapan- lya.
sebagai seorang pertapa yang telah tinggi Ilmunya, ia telah dapat mengetahui apa yang telah terjadi, terutama rente tan dengan peristiwa hilangnya pisau pusaka Seking dahulu.
Kedatangan Baru Klinting mengutarakan maksudnya sesuai petunjuk bunya Roro Kijang bahwa yang pertapa di sini adalah Ayahnya dan Ajar solokantoro mau mengaku sebagai ayahnya, tetapi sebelumnya harus menurut perintahnya dahulu yaitu : Lingkarilah Gunung Wilis ini kalau dari ujung ekor sampai kepalamu cukup panjang untuk melingkari Gunung Wilis ini rnaka akan diterima sebagai anaknya.
Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari kaki Gunung, ekor didepan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi tinggal sepanjang jari saja. Untuk mencapai Ekornya maka dengan seijinnya Baru Klinting mengeluarkan lidahnya dengan sepanjang-panjangnya sampai ke Ujung ekor, setelah lidah Baru Klinting dijulurkan sampai ke ekor maka pertapa lalu mencabut pisau, lidah Baru Klinting lalu di potong seketika itu juga putuslah lidah Baru Klinting yang sebelah dan lidah yang sebelah masih menyambung ekor sedang baru kliting sendiri kesakitan. Dengan menahan sakit maka marahlah Baru Klinting ditariknya ekor dan mengagah mulutnya akan menelan sang Ayah, tetapi setelah diberi penger- tian bahwa apabila ingin menjadi manusia agar jangan mempunyai lidah bercabang duajadi harus dipotong yang satunya, atas saran sang Ayah maka ditelanlah potongan lidah yang satu tetapi harus dikeluarkan lagi dan jangan dikeluarkan melalui mulut.
Lidah dikeluarkan melalui telinga tetapi keluarlah sebuah pusaka yang disebut Tobak Baru Klinting yang kelak sangat bermanfaat untuk Baru Klinting.
Atas petunjuk Sang Ayah maka Baru Klinting meneruskan bertapa sampai berpuluh tahun didalam hutan. Lama-kelamaan badannya tertim- bun oleh daun daun dan tanah sehingga sebagian badan yang tidak terpen- dam kelihatan seperti batang kayu, bagian kepala saja yang dapat kelihatan terang muncul disuatu desa yang dinamakan desa “Sirah Naga” termasuk Kecamatan Millir Kabupaten Madiun.
Pada suatu hari didesa Ngebel dilereng Gunung Wilis akan mengadakan Bersih desa pelaksanaannya dipusatkan dirumah Kepala Desa segala biaya dipikul oleh Rakyat dalam desa untuk menghemat biaya semua warga desa laki-laki supaya masuk hutan mencari binatang buruan baik Kijang, Rusa ataupun yang lainnya untuk lauk pauk dalam pesta Rakyat nanti.
Pada pagi harinya orang desa yang laki-laki berduyun-duyun masuk n mereka membawa parang, kapak sabit dan, keranjang dan tali, mya nasib sedang sial padanya hampir seharian tak seekorpun dapat 1 buruannya, semua lelah dan payah, oleh Pimpinannya diperintahkan lk berhenti di tempat masing-masing sambil menunggu kalau ada tang yang terlihat diantara sekian banyak ada seorang yang sambil uk mengayunkan kapaknya ke batang kayu, anehnya kayu itu men- arkan darah, ia amat terkejut sambil berteriak. Karena batang kayu itu geluarkan darah maka yang lainpun mencoba mengiris batang kayu tapi . keluar darahnya.
Semua riang gembira barang yang disangka kayu itu dipotong-potong mjangbadannya. Merekaberamai-ramai membawa pulanghasilburuan- dan dimasak bersama-sama dirumah Kepala Desa. Sehari semalam di dopo Kepala Desa diadakan keramaian, semua Rakyat didesa laki-laki :mpuan, tua muda datang melihatnya Orang tua didalam Rum ah dan k-anak di halaman rumah. Sewaktu anak-anak sedang bermain di luar irnan rumah, datanglah seorang anak compang-camping Pakaiannya dan yak luka di badannya, dimana anak itu datang mendekati anak-anak a itu datang menjauh.
eka merasa muak melihat anak itu datang merasa dihina oleh kawan- rannya, maka ia lalu pergi ke Dapur minta nasi, semua orang benci ihatnya dan tak ada seorangpun mau memberi nasi. Kemudian datang seorang nenek tua yang memberi nasi sebungkus penuh dengan pindang dan sate nasi diterima terus saja dimakan sebentar saja habis. Perutnya kenyang dan badannya menjadi kuat, aneh bin Ajaib semua luka-luka di badannya hilang sama sekali dan bentuk badannya menjadi baik seperti anak-anak di desa itu.
Ia mendekati nenek tua itu yang telah memberi nasi tadi dan berpesan pada nenek tadi apabila ada apa-apa agar nenek tadi membawa entong(cidok nasi) dan lekas saja naik lesung, anak itu lalu meninggalkan nenek itu dan berkumpul dengan anak-anak desa itu.
Dengan membawa sebuah lidi sapu ia masuk kelingkaran tempat anak- anak bermain seraya menantang kepada anak-anak desa itu, bahwa siapa yang bisa mencabut lidi yang baru ditancapkan ditanah akan diberi hadiah sebungkus nasi penuh dengan daging. Semua anak datang mencobanya tetapi tak berhasil malahan orang tuapun datang ingin mencobanya men­cabut lidi tetapi juga tidak adayang berhasil. Dengan berpesan kepada orang desa itu bahwa orang kikir itu tidak baik dan tidak mendapat berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan jangan berlagak sombong dan suka menghina orang lain. Akhirnya anak kecil itu dengan perlahan-lahan mencabut lidi sapu yang tertancap di tadi dengan mudahnya seolah-olah timbul sebuah mata air yang besar dan menggenangi halaman dan pekarangan kepala desa.
Oleh karena derasnya air maka anak-anak dan Orang tua jatuh tenggelam semua orang mati dan segala Bangunan roboh terapung- apung sebentar saja desa itu tenggelam dan menjadi Danau yang selanjutnya dinamakan ” danau Ngebel “ .
Hanya dua Orang yang selamat yaitu nenek tua dan anak kecil tadi dimana setelah mengetahui ada air datang ia langsung naik lesung sebagai perahunya dan Entong sebagai alat pendayung. Nenek tua bersama anak kecil tadi menjalankan perahunya ketepi danau lalu mendarat. Tempat mendarat ini ditepi pasar Ngebel nenek tua tadi tinggal dan menetap disitu sampai ajalnya dan dimakamkan ditengah-tengah Pasar Ngebel. Akhirnya nenek tua itu disebut “Nyai Latung” dan telaga tadi disebut dengan sebutan ” Telaga Ngebel
Diceritakan bahwa Baru klinting yang sedang bertapa dalam hutan karena perbuatan penduduk Ngebel maka badannya telah hancur tinggal bagian Kepalanya saja. Kepalanya menjadi batu terletak di Desa sebelah Barat dari Desa Ngebel. Tempat kepala ini akhirnya dinamakan Desa
“Sirah Naga”. Dengan takdir illahi Baru Klinting setelah hancur badannya menjelma menjadi seorang anak kecil dan disebut anak bajang dan si Bajang inilah yang membuat permainan lidi sapu tadi. Setelah si Bajang berpisah dengan nenek tua lalu ia mencari Orang tuanya ditinggalkannya Danau Ngebel, lalu pergi ke Gunung-gunung mencari tempat Orang tuanya bertapa. Setelah bertemu lalu menghadap Orang tuanya (Ayahnya) sambil menyampaikan bahwa perintah Ayahnya telah dilaksanakan dengan baik.
Sang Ayah akhimya mengakui bahwa ia anaknya dan diberi nama “Joko Baru” dan diberinya sebuah Pusaka Tombak bemama “Tombak Baru Kuping” Joko Bam dengan rasa ham bersujud dan menerima sebuah pusaka dari Ayahnya. Setelah menerima Pusaka Joko Baru diberi nasehat- nasehat dan disuruh pergi ke arah timur Gunung Wilis dan jangan berhenti kalau belum sampai ke sebuah Rawayang luas dan Ayahnya berpesan bahwa disitulah tempat Tumpah darah Joko Baru. Setelah sampai ditempat itu agar nanti Joko Baru membangun tanah kelahirannya, sebab dengan pusaka ini nanti Joko akan menjadi Orang Besar dan setelah itu dicarilah Ibunya dan dipeliharalah bersamamu dengan baik.
Setelah cukup pesan Ayahnya Joko bersujud dan mohon diri untuk melaksanakan perintah Ayahnya. Joko terus pergi kearah timur Gunung Wilis setelah berjalan berhari-hari sampailah di tanah Ngrowo dan bertemu dengan ibunya serta diterima dengan senang hati.
Akhirnya pusaka Kuping menjadi Pusaka Wasiat Kabupaten Bonorowo yang ahimya pindah ke utara menjadi Kabupaten Tulungagung.
Demikian cerita singkat/Legenda Telaga Ngebel mudah-mudahan menjadi obyek Wisata yang baik

Di tulis oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Legenda Telaga Ngebel;
Kabupaten Dati II Ponorogo , Madiun, Cabang Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur di Madiun , th.1995, hlm. 1-6

Sabtu, 13 Mei 2017

Reog Dan Sejarahnya


A.TENTANG DAN FILOSOFI
Raden Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo diyakini menjadi penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo. Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya. Pada saat pemerintahan Kerajaan Demak, Batoro Katong diperintahkan untuk menyelidiki daerah Wengker. Singkat cerita Batoro Katong menjadi Bupati pertama Ponorogo. Pada saat itu di Wengker terdapat kesenian barongan, kemudian oleh Batoro Katong nama Barongan diganti dengan nama Reyog. Reyog tersebut digunakan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah Wengker. Berikut ini salah satu contoh media da’wah Raden Batoro Katong.
1. DADAK REYOG
Dadak reyog diambil dari bahasa arab “Riyoqun” yang bermakna Khusnul Khotimah. Hal ini bisa diartikan seluruh perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa dan noda, bilamana sadar dan beriman yang pada akhirnya bertaqwa kepada Tuhan maka jaminannya adalah sebagai manusia yang sempurna dan menjadi muslim sejati. Dalam Reyog terdapat topeng Harimau (Barongan / Cekathakan ) yang angker dan angkuh dihiasi oleh bulu burung merak yang hijau kebiru – biruan dan mengkilat. Topeng harimau melambangkan kejahatan dan bulu merak melambangkan kebajikan. Ini mengingatkan kepada kita bahwa setiap kejahatan akan terkalahkan oleh kebajikan.
Selain warna bulu merak yang indah, kalau kita amati ada 4 (empat) warna yang dominan dalam kesenian reog yaitu hitam, putih, kuning dan merah. Warna – warna ini bukanlah tanpa makna namun para pinesepuh telah menempatkan warna yang mempunyai makna atau yang menyimbolkan nafsu – nafsu yang ada dalam diri manusia. Secara garis besar warna – warna itu menyimbolkan :
1. Warna Merah menyimbolkan nafsu AMARAH
2. Warna Putih menyimbolkan nafsu MUTH’MAINAH
3. Warna Hitam menyimbolkan nafsu ALWAMAH
4. Warna Kuning menyimbolkan nafsu SUFIYAH
Simbol nafsu manusia ini dapat dipahami secara mendalam oleh beberapa atau pemain dan penonton kesenian reog. Wacana ini dapat diterangkan oleh sesepuh atau penangkapan secara alami oleh penonton dan penari. Simbolisasi ini juga relevan dengan proses kejiwaan dalam ilmu kanuragan Jawa yaitu dimulai dari proses KANURAGAN, KASEPUHAN, KASUKSMAN dan KASAMPURNAN. Simbolisasi atas warna – warna dominan dalam kesenian Reog inilah yang dapat dipetik dari tujuan Tontonan yang bisa membawa ke arah Tuntunan.
2. KENDANG
Kendang diambil dari Bahasa Arab “Qoda’a” yang bermakna rem. Artinya sebagai manusi yang hidup dimuka bumi kita harus sadar bahwa kita tak akan hidup selamanya. Maka dari itu dibutuhkan rem untuk mengendalikan kehidupan kita agar tak terjerumus dalam keangkara murkaan.
Kendang menentukan irama cepat atau lambat dan berbunyi dang, dang, dang. Ndang artinya segeralah, berarti segeralah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
3. KENONG
Kenong diambil dari Bahasa Arab “Qona’a” yang bermakna menerima takdir. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan kita dilarang untuk mengeluh dengan apa yang terjadi pada diri kita. Kita diwajibkan untuk selalu berusaha dan berdoa untuk merubah hidup kita.
Kenong memiliki suara nang, ning, nong, nung. Nang berarti ana, ning berate bening, nong berarti plong (mengerti), nung berarti dumunung (sadar). Maksutnya setelah manusia ada lalu berfikir dengan hati hyang bening maka dapat mengerti sehingga sadar bahwa keberadaannya tentu ada yang menciptakannya yaitu Allah SWT.
4. KETIPUNG
Ketipung diambil dari Bahasa Arab”Katifun” yang berarti balasan. Setiap perbuatan yang kita lakukan dimuka bumi ini akan mendapatkan balasan dari tuhan kelak di hari akhir. Untuk itu kita dianjurkan untuk selalu berbuat kebajikan setiap waktu.
5. KETHUK
Diambil dari Bahasa Arab “Khotok” yang berarti banyak salah. Manusia adalah tempatnya berbuat salah dan dosa, maka dari itu kita selalu diingatkan untuk selalu bertaubat.
Kethuk berbunyi thuk, artinya matuk atau setuju.
6. GONG KEMPUL
Gong berarti Gung, setiap amal manusia dipertanggungjawabkan dihadapan Yang Maha Agung.
Kempul berasal dari Bahasa Arab “ Kafulun” artinya pembalasan atau imbalan. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan dicatat oleh malaikat yang selalu menyertai kita.
Kempul artinya kumpul atau jama’ah. Setelah ditabuh sekali dua kali, tiga kali disusul bunyi gong yang artinya agung. Lagu yang dibunyikan selalu berakhir dengan bunyi gong. Semua ibadah kita tujukan kepada yang Maha Agung.
7. TEROMPET ATAU SULING
Diambil dari Bahasa Arab “Shuwarun” artnya peringatan. Hidup manusia didunia hanya sementara, kita selalu diingatkan untuk mengisi hidup kita dengan kebaikan.
Suling artinya eling atau ingat. Ingat kepada yang menjadikan hidup. ingat
bahwa hidup di dunia tidak lama. Ingat bahwa ada kehidupan yang kekal dan bahagia yang dapat dicapai dengan amal ibadah sebanyak-banyaknya.
8. ANGKLUNG
Berasal dari Bahasa Arab “Anqul” artinya peralihan. Artinya peralihan dari hal buruk menjadi baik.
9. WAROK
Berasal dari bahasa Arab “Wira’I” artinya tirakat. Kehidupan dunia ini penuh godaan dari segala penjuru, untuk itu perlu tirakat untuk menjauhkan godaan-godaan tersebut.
10. PENADHON
Dari Bahasa Arab “Fanadun” artinya lemah. Setiap manusia memiliki kelemahan atau kekurangan-kekurangan, namun kita dilarang berputus asa karena kelemahan kita.
11. USUS-USUS Atau KOLOR
Diambil dari Bahasa arab “ Ushusun” artinya tali atau ikatan. Manusia wajib berpegang teguh pada tali Allah dalam hubungan vertical kepada Tuhan YME dan hubungan dengan sesama manusia. Selain itu Islam sangat menganjurkan umatnya untuk selalu menjaga ikatan silaturahmi.

B.SEJARAH
Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa sejarah tarian reog ponorogo memiliki banyak versi cerita. Silahkan baca disini Seputar Reog Ponorogo. Adapun beberapa versi cerita sejarah tarian reog adalah sebagai berikut :
1. KERAJAAN BANTARANGIN
Diceritakan bahwa Raja Bantar Angin yang bergelar Prabu Kelana Sewandana jatuh cinta kepada putri dari kerajaan Kediri yang bernama Dyah Ayu Dewi Songgolangit. Oleh sebab api cinta yang tidak bisa dipadamkan, maka Prabu Kelana Sewandana kemudian mengutus Patihnya yaitu Pujonggo Anom atau yang lebih dikenal dengan Bujang Ganong untuk melamar Dyah Ayu Dewi Songgolangit. Dalam perjalanan menuju ke kerajaan Kediri, Bujang Ganong dihadang oleh Singo Barong (seorang raja dari segala harimau yang menjaga tapal batas kerajaan Kediri). Singo Barong mempunyai bentuk tubuh yang tidak lazim yaitu orang yang berbadan manusia tetapi berkepala Harimau. Prabu Singo Barong mendapat perintah dari Raja Kediri untuk memeriksa atau melarang siapapun tanpa seijin sang Raja masuk ke wilayah kerajaan Kediri.
Perjalanan Bujang Ganong terpaksa berhenti di perbatasan kerajaan Kediri karena dihadang oleh Singo Barong. Perang mulut antara keduanya sulit dihindari sehingga memuncak menjadi perang fisik. Karena kesaktian dan keperkasaan Singo Barong, Patih Bujang Ganong dapat dikalahkan dan bertekuk lutut dikaki Singo Barong. Kemudian Singo Barong menyuruh Bujang Ganong pulang ke kerajaan Bantar Angin dan melaporkan kekalahannya.
Sesampainya di kerajaan Bantar Angin, Bujang Ganong langsung menghadap Prabu Kelana Sewandana. Mendengar kekalahan dan ketidak berhasilan utusannya, beliau langsung marah dan memerintahkan Bujang Ganong untuk mengerahkan segala kekuatan bala tentaranya untuk menyerang Singo Barong dan kerajaan Kediri. Prabu Kelana Sewandana akan menghancurkan Kediri apabila Dyah Ayu Dewi Songgolangit menolak lamarannya. Dalam perjalananya, Prabu Kelana Sewandana diiringi suara bended an Gong yang riuh sekali dengan maksud untuk memberi semangat kepada prajuritnya. Seperti perjalanan sebelumnya, setelah sampai di tapal batas kerajaan Kediri, pasukan Bantar Angin dihadang oleh Singo Barong dan bala tentaranya. Akhirnya perangpun terjadi dengan dahsyatnya. Ternyata kekuatan dan kesaktian bala tentara Singo Barong sangat sulit dikalahkan oleh prajurit Bantar Angin, sehingga Prabu Kelana Sewandana harus turun tangan sendiri.
Adu kesaktian antara Prabu Kelana Sewandana dan Singo Barong berlangsung seru dan mengagumkan. Keduanya sangat sakti mandraguna dan saling serang. Prabu Kelana Sewandana sangat terpaksa mengeluarkan pusaka andalannya yaitu Cemethi Samandiman. Dengan sekali cambuk Singo barong langsung lumpuh kehilangan kekuatannya. Singo Barong menyatakan dan mengakui kekalahannya dan takhluk kepada Prabu Kelana Sewandana. Prabu Kelana Sewandana tidak keberatan menerima takhlukan Singo Barong asalkan mau menunjukkan jalan menuju ke Kerajaan Kediri dan membantu mewujudkan cita – cita Prabu Kelana Sewandana. Dua pasukan itu bergabung di bawah pimpinan Singo barong dan Bujang Ganong menuju kerajaan Kediri. Tanpa perlawanan yang berarti, pasukan kerajaan Kediri dapat dikalahkan oleh Pasukan Prabu Kelana Sewandana. Akhirnya Prabu Kelana Sewandana berhasil mempersunting Putri Kediri Dyah Ayu Dewi Songgolangit.
Untuk memperingati perjalanan dan kemenangan Prabu Kelana Sewandana ini diciptakanlah suatu kesenian yang dikenal dengan REOG.
2.  VERSI KI AGENG KUTU
Legenda kesenian reog ini merupakan sindiran atau satire sekaligus mempunyai makna simbolis yang timbul pada masa Raja Bre Kertabumi yaitu raja terakhir kerajaan Majapahit. Hal ini berawal dari menyingkirnya penasehat kerajaan yang bernama Ki Ageng Ketut Suryo Alam dari Istana Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menganggap Prabu Bre Kertabumi telah menyimpang dari tatanan moral kerajaan. Penyimpangan moral inilah yang dinilai awal dari kehancuran Majapahit, dimana kebijakan politik Majapahit waktu itu banyak dipengaruhi oleh permaisuri sehingga banyak kebijakan, peraturan Raja yang tidak benar. Ki Ageng Ketut Suryo Alam menyingkir ke suatu daerah di selatan, yang bernama Kutu. Suatu desa kecil yang masuk wilayah Wengker.
Kemudian Ki Ageng Ketut Suryo Alam mendirikan sebuah padepokan yang mengajarkan sikap seorang prajurit dan kesatria yang gagah dan perkasa. Seorang prajurit harus taat kepada kerajaan dan sakti. Untuk menempuh tujuan tersebut Ki Ageng Ketut Suryo Alam atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Ki Demang Kutu melarang muridnya berhubungan dengan wanita (wadat). Menurut kepercayaanya, barang siapa melanggar ajaran tersebut, kekuatan atau kesaktinnya akan berkurang, bahkan hilang sama sekali. Untuk itulah muridnya harus tinggal di padepokannya. Kepemimpinan dan padepokan Ki Ageng Kutu cepat menyebar dan popular ke beberapa daerah lainnya.
Di dalam padepokan tersebut, Ki Ageng Kutu merenung dan berfikir, bagaimana strategi untuk melawan Majapahit yang dianggapnya meyimpang. Dalam perenungannya muncul pendapat bahwa peperangan bukanlah cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah, sehingga diciptakanlah sebuah perlawanan secara psikologis dengan membuat kritikan lewat media kesenian. Sebuah drama tari yang menggambarkan keadaan kerajaan Majapahit, dan oleh Ki Ageng Kutu disebut REOG.
Ki Ageng Kutu sebagai tokoh warok yang dikelilingi oleh para murid – muridnya menggambarkan fungsi dan peranan sesepuh masih tetap diperlukan dan harus diperhatikan.
Pelaku dalam Drama tari tersebut adalah Singo Barong yang mengenakan bulu merak di atas kepalanya menunjukkan kecongkakan atau kesombongan sang Raja, yang selalu diganggu kecantikan permaisurinya dalam menentukan kebijakan kerajaan.
Penari kuda atau Jathilan yang diperankan oleh seorang laki – laki yang lemah gemulai dan berdandan seperti wanita menggambarkan hilangnya sifat keprajuritan kerajaan Majapahit. Tarian penunggang kuda yang aneh menggambarkan ketidakjelasan peranan prajurit kerajaan, ketidak disiplinan prajurit terhadap rajanya, namun raja berusaha mengembalikan kewibawaannya kepada rakyat yang digambarkan dengan penari kuda (Jathilan) berputar – putarnya mengelilingi Sang Raja.
Seorang pujangga kerajaan digambarkan oleh Bujang Ganong yang memili wajah berwarna merah, mata melotot dan berhidung panjang menggambarkan orang bijaksana, bernalar panjang tetapi tidak digubris oleh Raja sehingga harus menyingkir dari kerajaan.
Setelah Ki Ageng Kutu meninggal, kesenian ini diteruskan oleh Ki Ageng Mirah pada masa Bathoro Katong (Bupati pertama Ponorogo) hingga sekarang. Oleh Ki Ageng Mirah cerita yang berlata belakang sindiran tersebut digantikan dengan cerita Panji. Kemudian dimasukkan tokoh – tokoh panji seperti Prabu Kelana Sewandana, Dewi Songgolangit yang menggambarkan peperangan antara kerajaan Kediri dan Bantar Angin.
3. VERSI BATORO KATONG
Versi lain yang disebutkan dalam buku Pedoman Dasar Kesenian Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa, yang diterbitkan pada 1 Agustus 1993, pada era Bupati Gatot Sumani, menyebutkan reog Ponorogo yang semula disebut Barongan merupakan sindiran dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Prabu Brawijaya V sebagai pemimpin Majapahit saat itu, yang belum melaksanakan tugas kerajaan secara tertib, adil, dan mamadai karena dipengaruhi dan dikendalikan oleh permaisurinya.
Berawal dari cerita inilah asal usul reog Ponorogo dalam wujud seperangkat merak dan jathilan sebagai manifestasi sindiran kepada Raja Majapahit. Raja dikiaskan sebagai harimau yang ditunggangi oleh merak sebagai lambang permaisuri ( yang menguasai suami ).
Kesenian Reog terus berkembang menjadi media komunikasi dengan masyarakat. Pada masa pemerintahan Batoro Katong dan Ki Ageng Mirah sebagai pendamping setia Batoro Katong, kesenian reog terus dilestarikan. Dengan daya cipta dan rekayasa yang tepat, Ki Ageng Mirah membuat cerita legendaris yaitu cerita tentang raja Bantarangin, Prabu Kelono Sewandono yang sedang kasmaran. Hasil daya cipta Ki Ageng Mirah ini berkembang di masyarakat Ponorogo dan diyakini hingga kini bahwa cerita itu benar-benar terjadi. Bahkan diyakini pula, bekas kerajaan Bantarangin masih tetap ada di wilayah Somoroto, Kauman.
Oleh Batoro Katong, kesenian reog ini juga digunakan sebagai media dakwah. Menurutnya kata ”Reyog” berasal dari kata ”Riyoqun” yang berarti Khusnul Khotimah. Demikian pula instrumen reog juga diberi nama yang bermakna untuk tujuan dakwah.
4. VERSI CERITA MAJAPAHIT
Akibat dari Kekacauan di Pusat Pemerintahan Majapahit dan ketidakpuasan Para Punggawa Kerajaan, salah satu Punggawa menyingkir dari Pusat Kerajaan. Hal ini dikarenakan Raja Brawijaya lebih memperhatikan istri China-nya(Putri Cempa) dan mengabaikan pendapat dari Penasehat atau Punggawa Kerajaan. Punggawa ini menyingkir ke wilayah pinggir dari Kerajaan Wengker (Ponorogo). Wengker adalah Kerajaan Bawahan Majapahit dan tidak Logis jika Punggawa ini menyingkir ke Pusat Pemerintahan Wengker (Ponorogo sekarang). Dari bentuk Candi Brongkah yang ditemukan di Brongkah sebelah barat kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek, menurut penulis Candi Brongkah adalah Batas Wilayah Kerajaan Wengker dan Kediri. Jika pendapat penulis ini benar, artinya Wilayah Pinggir dari Kerajaan Wengker meliputi 12 Kecamatan di Wilayah Kabupaten Trenggalek karena dari situs yang ditemukan di Ponorogo, Pusat Kerajan Wengker ada di Wilayah Kabupaten Ponorogo sekarang. Dan wilayah yang sejak dahulu menjadi tempat pelarian Para Punggawa Kerajaan, Raja, Perampok dan tempat Pertapaan adalah Wilayah Kecamatan Kampak Trenggalek. Kenapa Kampak, karena wilayah ini terlindung oleh gugusan bukit-bukit kecil yang mengelilinginya sehingga aman untuk tempat perlindungan. Punggawa ini tidak puas dengan Raja dan ingin memberontak. Namun apa daya, kekuatan prajurit Majapahit jauh melebihi kekuatan pengikut Punggawa ini. Akhirnya muncul ide menciptakan kesenian untuk mengkritisi Raja Brawijaya. Sesuai Karakter Orang Jawa, mengkritik tidak mau secara langsung pada sasaran karena jika salah perhitungan akan mati konyol maka digambarkan dengan lambang atau gambaran. Muncullah penggambaran Kepala Singa/Macan dan diatasnya Burung Merak adalah Raja Brawijaya yang ditunggangi atau dikendalikan istri China-nya Putri Cempa. Para laki-laki yang berhias seperti perempuan dengan kuda lumping adalah penggambaran Prajurit Majapahit yang telah Loyo dan jatuh mentalnya seperti Prajurit Perempuan menunggang kuda dan menari-nari mengikuti titah Raja yang tak lagi berwibawa. Bujang Ganong adalah penggambaran dari Pujangga sendiri yang selalu menggoda Raja atau Barongan Merak dan menari-nari dengan lincahnya. Dari sinilah kesenian Reog Ponorogo muncul dan menyebar ke seluruh Kerajaan Wengker menjadi kesenian rakyat dan terus berkembang sampai sekarang. Sedang budaya Warog sendiri menurut penulis adalah Pendeta-pendeta Suci atau orang-orang Sufi dalam Islam yang mengawal Si Punggawa. Para Pendeta atau Warog ini tidak menikah dan jika menginginkan perempuan, maka dia mencari laki-laki muda yang didandani wanita untuk dijadikan kesenangan/Gemblak agar terhindar dari perbuatan zina. Para Gemblak ini dipelihara layaknya istri dan dimanja sampai Si Warog sudah tak membutuhkan lagi.
Dari sini penulis berkesimpulan secara Subyektif mungkin, karena tidak ada data ilmiah yang bisa jadikan pedoman, bahwa Reog Ponorogo pertama kali muncul dan dikembangkan dari wilayah Kampak Kabupaten Trenggalek kemudian menyebar ke seluruh Ponorogo. Ini jadi logis karena dari data sejarah, pada Jaman Kerajaan Surakarta dan Ngayogyakarta sampai Jaman Belanda wilayah Kawedanan Kampak, Trenggalek dan Karangan masuk dalam wilayah Kadipaten/Kabupaten Ponorogo kemudian memisahkan diri dan menjadi Kabupaten tersendiri ditambah wilayah dari Pacitan dan Tulungagung.
SEMOGA BERMANFAAT.
JIKA ADA VERSI LAIN YANG BELUM DITAMBAHKAN PENULIS, MOHON POSTING DI KOMENTAR.
Artikel ini disadur dari sumber yang saya lupa alamatnya. Mohon maaf

Sejarah Ponorogo



WENGKER SEBELUM JAMAN MAJAPAHIT
Setelah kerajaan Medang di Jawa Tengah bubar, tahun 928 M Mpu Sindok pindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok naik tahta menjadi raja pertama kerajaan Medang di Jawa Timur tahun 929 M bergelar Sri Isyana Wikrama Darmatunggadewa, yang mana menjadi moyang bagi raja-raja di Jawa selama 300 tahun berturut-turut. Ia memerintah dengan permaisurinya Parameswari Sri Wardani mpu Kbi (Putri Rakai Wawa), untuk menjalankan pemerintahan. Dalam buku “Babad Ponorogo” karya Purwowijoyo, disebutkan selain Mpu Sindok ada lagi satu rombongan yang pindah ke Jawa Timur dibawah pimpinan Ketut Wijaya, putra raja Medang. Kemudian mendirikan kerajaan yang diberi nama Wengker. Ketut Wijaya berkuasa tahun 986 -1037 M.
Nama Wengker adalah akronim dari “Wewengkon angker” atau tempat yang angker. Letak kerajaan Wengker dibawah pimpinan Kettu Wijaya bermacam versi. Dalam “Babad Ponorogo” disebutkan Sebelah utara : antara gunung Kendeng dan gunung Pandan, Sebelah Timur : Gunung Wilis sampai wilayah laut Selatan. Sebelah Selatan : Wilayah Laut selatan, dan Sebelah barat : pegunungan mulai laut selatan sampai Gunung Lawu. Dalam buku ini juga disebutkan keraton Wengker di sekitar Setono Kecamatan Jenangan (mengutip pendapat dari Prof.Dr. NJ.Krom dan Dra.Setyawati Suleman). Digambarkan Kerajaan Wengker pada saat itu aman santosa, rakyatnya senang melakukan tapa brata dan menguasai banyak ilmu batin. Adapun batas wilayah ditandai dengan sungai, untuk pertahanan wilayah terdapat tiga benteng dalam tanah istilahnya Benteng Pendem. Versi lain sebagaimana dalam buku “Ungkapan sejarah kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo” (Moelyadi) letak kerajaan Wengker masa ini adalah di daerah Dolopo Madiun, pusatnya di Desa Daha.
Pada tahun 947 M, Mpu Sindok digantikan anaknya yang bernama Sri Isyanatungga Wijaya yang menikah dengan Sri Lokapala. Selanjutnya ia digantikan putranya, Sri Makuthawangsa Wardana. Sri Makuthawangsa Wardana mempunyai dua orang putri. Salah satu putrinya menikah dengan Dharmawangsa. Selanjutnya sang menantu itulah yang kemudian memegang tampuk kekuasaan di Medang. Salah satu putri Makuthawangsa yang bernama Mahendradatta menikah dengan Udayana dan mempunyai anak bernama Airlangga. Dalam memimpin Medang, Dharmawangsa mempunyai ambisi besar memperluas wilayah. Kerajaan Medang saat itu diperkirakan di sekitar daerah Maospati Magetan
Pada tahun 1016 M, kerajaan Medang diserang Sriwijaya bersama sekutunya yaitu Wurawari dan Wengker, sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh pembesar istana tewas. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan “Pralaya“ atau kehancuran. Dalam Prasasti Kalkuta yaitu Prasasti Airlangga, disebut bahwa “Ri Prahara, haji Wurawari maso mijil sangka Lwaran”. Letak Wurawari ada beberapa pendapat. Menurut Moh. Hari Soewarno di Jawa Timur. Menurut Prof.Dr.G.De Casparis dari Semenanjung Malaka. Ada pula yang berpendapat di Banyumas. penyerangan Raja Wurawari ada yang berpendapat disebabkan iri atas kegagalannya mempersunting putri Dharmawangsa. Selain itu berserta sekutunya ingin menghancurkan Medang. Sementara keterlibatan Wengker adalah pengaruh ekspansif Medang yang berusaha memperluas wilayah dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil dan juga persaingan di bidang ekonomi.
Satu-satunya yang berhasil lolos dari serangan tersebut adalah Airlangga, yang pada saat itu sedang melangsungkan pernikahan dengan putri Dharmawangsa. Pada waktu itu usia Airlangga 16 tahun, beserta Narotama ia bersembunyi dan mendapatkan tempaan jasmani rohani dari gurunya yaitu Mpu Barada di hutan sekitar daerah Wonogiri. Namun pada perkembangannya lokasi penempaan Airlangga diperkirakan di daerah Pager Ukir Kecamatan Sampung Ponorogo yang dibuktikan dengan keberadaan situs bersejarah dimana terdapat bukti jejak keberadaan airlangga dan juga lokasi pegunungan dan hutan yang memenuhi syarat sebagai tempat persembunyian. Pada tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan menjadi raja Kahuripan yang terletak di bekas reruntuhan bekas Kerajaan Medang. Saat itu bekas Kerajaan Medang sepeninggal Dharmawangsa merupakan wilayah yang kecil karena setelah “pralaya”, wilayah Medang terpecah-pecah.
Tahun 1028 M, Airlangga memulai usahanya menyatukan kembali wilayah Medang, termasuk terhadap Kerajaan Wengker. Tahun 1031 Wengker bisa ditaklukkan. Pada tahun 1035 M Kerajaan Wengker ternyata bangkit dan kuat lagi. Airlangga kembali menyerang Wengker dengan kekuatan pasukan yang besar pada tahun 1037 M, Kettu Wijaya mengalami kekalahan, terpaksa meninggalkan harta benda dan permaisurinya. Kettu Wijaya lari ke desa Topo, kemudian pindah ke Kapang diikuti beberapa prajuritnya. Karena terus diserang pasukan Airlangga ia lari ke Sarosa. Di sinilah akhirnya Ketut Wijaya bisa dikalahkan, dan ia dibunuh oleh prajuritnya sendiri, versi lain mengatakan Kettu Wijaya hilang beserta jiwa raganya (moksa). Sumber lain ada menyebutkan, setelah dikalahkan Airlangga Kettu Wijaya menjadi pertapa. Dengan demikian berakhirlah riwayat kerajaan Wengker era Kettu Wijaya. Selanjutnya wilayah Wengker menjadi daerah kekuasaan Airlangga.
Raja Wengker selanjutnya adalah Prabu Jaka Bagus (Sri Garasakan), yang memerintah Wengker tahun 1078 M, lokasi Wengker diperkirakan di utara gunung Gajah, desa Bangsalan Kecamatan Sambit Ponorogo. Prabu Jaka Bagus dikenal memiliki kesaktian yang luar biasa, untuk memiliki kesaktian tersebut ia tidak mempunyai istri, sebagai gantinya ia memelihara laki-laki sebagai gantinya atau yang biasa disebut “gemblak”. Raja Jaka Bagus dikenal sebagai raja warok pertama. Warok berasal dari WARA=pria agung, pria yang diagungkan.
Wengker di masa Kerajaan Majapahit
Dimasa pemerintahan Airlangga, wilayah Kerajaan Wengker tidak pernah terjadi peperangan maupun persengketaan, sebaliknya menjadi daerah yang aman tentram. Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua yaitu Kediri atau Daha dan Jenggala atau Panjalu. Sepeninggal Airlangga terjadi perang saudara antara kedua kerajaan tersebut. Situasi yang tidak stabil itu digunakan Wengker menyusun kekuatan baru sehingga sampai berdirinya Majapahit nama Wengker masih eksis bahkan hubungan kedua kerajaan terjalin dengan baik.
Dimasa pemerintahan Majapahit, Wengker dipimpin seorang raja bernama Raden Kudamerta (Wijayarajasa), dalam Kitab Nagarakartagama disebutkan “Priya haji sang umunggu Wengker bangun hyang Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana parama-ajnottama”. Dari kitab ini menunjukkan bahwa yang membangun kerajaan Wengker adalah Wijayarajasa, sebagai raja pertama. Dalam Kitab ini juga disebutkan Raden Kudamerta menikah dengan Bhre Dhaha. Raden Kudamerta berkedudukan di Wengker dengan nama Bhre Parameswara dari Pamotan yang dikenal dengan nama Cri Wijayarajasa. Yang dimaksud Bhre Dhaha adalah dewi Maharajasa adik Tribhuwana. Berarti Wijayarajasa adalah menantu Raden Wijaya.
Selain menjadi raja Wengker, Wijayarajasa merupakan tokoh yang mempunyai peran besar di Majapahit, antara lain : salah satu dari 8 tokoh yang diundang pada waktu pengangkatan mahapatih Gajahmada tahun 1364 M, diangkat menjadi anggota dewan Sapta Prabu, menjadi anggota dewan pertimbangan agung tahun 1351 M, mengambil tindakan tegas terhadap kesalahan yang dilakukan Gajahmada atas peristiwa Bubat, dan mendapat penghargaan dari Tribhuwana Tunggadewi.
Putra Wijayarajasa yang bernama Susumma Dewi/paduka Sori menikah dengan Hayam Wuruk tahun 1357M, setelah prabu Hayam Wuruk gagal menikah dengan putri Pajajaran yang meninggal pada peristiwa Bubad. Pernikahan itu merupakan pernikahan keluarga karena ibu Susumma Dewi adalah adik TriBhuawana Tunggadewi (ibu Hayam Wuruk). Hayam Wuruk dan Susumma Dewi adalah sama-sama cucu Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana).
Dari pernikahan-pernikahan yang melibatkan dua kerajaan (Majapahit dan Wengker), menurut Dr.NJ.Krom bahwa untuk pergi ke Bubad disamakan pendapat dengan ke Wengker. Sepeti kita ketahui Perang Bubad terjadi sebagai akibat perkawinan politik yaitu salah satu cara Majapahit menaklukkan kerajaan disekitarnya. Dalam hal ini meski Wengker adalah daerah kekuasaan Majapahit, tetapi kekuatan Wengker sangat diperhitungkan Majapahit kala itu.
Dalam kurun waktu ini, dari berbagai sumber memang jarang diungkap keadaan dalam kerajaan Wengker sendiri karena memang peran Wijayarajasa lebih banyak di Majapahit dibanding memimpin kerajaannya sendiri. Ada yang memperkirakan pusat pemerintahan Wengker pada saat itu berada di sekitar Kecamatan Sambit Ponorogo. Wijayarajasa meninggal pada tahun 1310 saka dimakamkan di Manar dengan nama Wisnubhawano.
Era kepemimpinan Wengker dimasa Majapahit berikutnya adalah Dyah Suryawikrama Girishawardana, ia adalah anak Dyah Kertawaijaya. Ia memimpin Wengker sejak ayahnya masih memimpin pemerintahan Majapahit tahun 1447-1451 M. Setelah kekosongan kekuasaan selama tiga tahun ia memimpin Majapahit selama 10 tahun (1456-1466 M). Dalam kitab Pararaton ia bergelar Bhre Hyang Purwawisesa. Ia meninggal tahun 1466 M dan dimakamkan di Puri. Sampai masa ini nama Wengker masih disebut-sebut dalam sejarah Majapahit.
Wengker dimasa Kerajaan Demak Bintoro
Diakhir kejayayaan Majapahit yang mana wilayah majapahit terpecah-pecah. Wilayah seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya memerdekakan diri. Kerajaan kecil yang tumbuh menjadi besar adalah kesultanan Demak yang diperintah Raden Patah sekitar awal abad XVI. Demak menguasai kota-kota pesisir lain seperti Lasem, Tuban, Gresik dan Sedayu. Raden Patah diakui sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dengan gelar sultan. Dari Demak agama Islam disebarkan ke seluruh Jawa bahkan luar Jawa.
Raden Patah adalah putra Prabu Majapahit dengan putri Cina yang pada waktu hamil muda diberikan kepada Arya Damar, setelah lahir diberi nama Raden Patah. Prabu Majapahit yang mempunyai istri putri Cina adalah Brawijaya terakhir. Arya Damar menyatakan kepada permaisurinya bahwa putranya tesebut akan menjadi raja Islam yang pertama di Jawa. Sebagaimana kita ketahui Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa adalah Demak.
Pada saat Raden Patah menginjak dewasa kerajaan Hindu Majapahit telah mulai runtuh yang disebabkan perlawanan kaum bangsawan yang telah mendirikan kota di pantai utara dan mendapat dukungan Islam. Kesempatan ini dipergunakan Raden Patah menemui Sunan Ampel atau Raden Rahmad. Raden Patah mengutarakan beberapa hal mengenai Majapahit yang telah lemah. Raden Patah tinggal di rumah Raden Rahmad untuk belajar beberapa hal, setelah cukup diberi kedudukan di Bintoro.
Bintoro dikembangkan atas dasar Islam. Mendengar hal tersebut raja Majapahit, prabu Brawijaya mengangkat Raden Patah menjadi mangkubumi di Bintoro. Berkat dukungan para wali, Bintoro berkembang menjadi kerajaan Islam pertama dengan nama Demak tahun 1481 M, dibawah pimpinan Raden Patah dengan gelar Panembahan Djimbun.
Seiring munculnya Demak, Majapahit semakin parah dilanda krisis, Brawijaya telah diganti/direbut Girishawardana yang sebenarnya tidak berhak atas tahta Majapahit. Pada waktu raja Brawijaya terakhir, telah member wilayah kekuasaan kepada Raden Patah yang kelak dikemudian hari berkembang menjadi Kerajaan Demak. Hal yang berbeda dialami putra Brawijaya V lain yang bernama Raden Katong yang belum mempunyai wilayah kekuasaan. Hingga terdengar berita bahwa sebelah timur Gunung Lawu ada seorang demang dari Kutu yang tidak mau menghadap ke Majapahit. Maka Raden Katong disuruh menghadapkan demang tersebut ke Majapahit. Selain itu Raden Katong masuk Islam.
Demang Kutu tersebut adalah Ki Ageng Suryangalam atau terkenal dengan sebutan kutu. Ia punggawa Majapahit yang masih termasuk kerabat keraton maka oleh Prabu Kertabumi / Brawijaya V, ia diberi jabatan demang. Kademangan Kutu atau Surukubeng wilayahnya adalah bekas kerajaan Wengker, yang mana seiring semakin lemahnya Majapahit. Ki Ageng Kutu meneruskan tata cara dan adat kerajaan Wengker dahulu. Para pembantu dan punggawanya diajarkan beladiri dan berperang serta tapa brata.
Sementara itu Raden Katong dating ke wilayah Wengker bersama dengan Seloaji. Mereka menemui Ki Ageng Mirah yang merupakan putra Ki Ageng Gribig, seoarang ulama dari Malang. Ki Ageng Mirah adalah penyebar Islam di Wengker. Banyak hal penting yang dijelaskan Ki Ageng Mirah kepada Raden Katong, termasuk kesulitannya dalam menyebarkan agama Islam. Mereka kemudian sepakat berjuang bersama, Raden Katong atas dasar pemerintahan sedangkan Ki Ageng Mirah atas dasar penyebaran agama Islam. Mereka selalu koordinasi terhadap apa yang mereka hadapi dalam perjuangan ini. Ki Ageng Mirah senang mendapat mitra Raden Katong karena masih keturunan Majapahit. Masalah Raden Katong adalah Ki Ageng Kutu tidak mau menghadap ke Majapahit sedang Ki Ageng Mirah kesulitan dalam menyebarkan agama Islam.
Pihak Raden Katong berusaha melakukan pendekatan persuasif terhadap pihak Ki Ageng Kutu, antara lain dilakukan Ki Ageng Mirah terhadap Ki Ageng Kutu secara dialogis agar Ki Ageng Kutu bersedia menghadap ke Majapahit. Tapi Ki Ageng Kutu menolak dengan alasan antara lain Kerajaan Majapahit yang memberi pintu bagi penyebaran agama Islam padahal wilayah Wengker kebanyakan menganut agama sendiri yaitu Hindu dan Budha. Dia menganggap penyebaran Islam dipimpin Raden Patah dan justru Majapahit mengangkatnya menjadi penguasa Demak Bintoro. Ki Ageng Mirah menjelaskan bahwa pengangkan Raden Patah tidak salah karena masih putra Brawijaya V. Tapi Ki Ageng Kutu tetap menganggap hal yang dilakukan Majapahit merupakan hal yang menyalahi aturan kerajaan sendiri. Akhirnya upaya dialogis yang dilakukan Ki Ageng Mirah gagal.
Upaya persuasif dari pihak Raden Katong yang gagal dilaporkan kepada Prabu Brawijaya V, dan langkah yang dilakukan Brawijaya adalah mengirim pasukan Majapahit untuk menumpas Ki Ageng Kutu. Rombongan pasukan tersebut di pimpin oleh Raden Katong. Pada dasarnya Raden Katong enggan bermusuhan dengan pihak Wengker mengingat jasa Ki Ageng Kutu terhadap Majapahit begitu banyak. Tetapi Seloaji member nasehat bahwa apa yang dianggap Ki Ageng Kutu benar adalah menurut ki Ageng Kutu sendiri, sedangkan pihak kerajaan menganggap hal yang menyalahi peraturan dan Raja pun langsung memerintahkan untuk menumpas, maka ia menasehati Raden katong untuk tidak ragu-ragu bertindak.
Maka singkat cerita terjadilah peperangan antara tentara Majapahit yang dipimpin Raden Katong beserta Ki Ageng Mirah dan Seloaji serta beberapa tokoh lain. Jalannya peperangan termasuk didalamnya strategi perang yang dilakukan tidak dibahas ditulisan ini. Maka pada tahun 1468 M, kutu sebagai ibukota Wengker jatuh ke tangan Raden Katong dan bala tentaranya. Ki Ageng Kutu bisa dikalahkan tetapi tidak ditemukan jasadnya atau musnah di bukit yang kemudian disebut dengan Gunung Bacin. Ki Honggolono sebagai tangan kanan Ki Ageng Kutu Tewas dalam pertempuran ini. Raden Katong sangat terharu melihat kematian Ki Honggolono dan musnahnya Ki Ageng Kutu mengingat mereka berdua adalah para perwira yang berjasa besar kepada Majapahit terutama ketika merebut kembali Wengker yang sempat dikuasai Kediri. Konsolidasi dalam keluarga Ki Ageng Kutu juga dilakukan antara lain menikahi dua putrid Ki Ageng Kutu yaitu Niken Sulastri dan Niken Gandini, putra pertama Ki Ageng Kutu yang bernama Surohandoko menggantikan kedudukan ayahnya di Kademangan Kutu, Suryongalim dijadikan Kepala Desa di Ngampel, Warok Gunoseco menjadi kepala desa di Siman, Waro Tromejo di Gunung Loreng Slahung.
Setelah bisa menguasai bekas kerajaan Wengker, Raden Katong mendirikan Kadipaten Baru dengan nama PONOROGO, PONO artinya pintar atau mengerti benar, ROGO artinya Badan atau jasmani. Ada pula yang menyebutkan dari asal kata “PRAMANA” yang artinya rahasia hidup dan “RAGA” yang artinya Badan atau jasmani. Kadipaten Ponorogo berdiri tahun 1496 M dengan Raden Katong sebagai Adipati pertama dengan gelar Kanjeng Panembahan Batoro Katong.
Demikian sedikit tentang sejarah perjalanan Kerajaan Wengker yang eksis selama ± 500 tahun , yang mana meskipun kerajaan kecil tetapi sangat diperhitungkan kekuataannya oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Kahuripan dan Majapahit serta peletak dasar-dasar pemerintahan, politik, ekonomi, sosial dan budaya dari daerah yang sekarang bernama Ponorogo ini.